Terbit: 17 January 2018 | Diperbarui: 21 February 2022
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: dr. Ursula Penny Putrikrislia

PTSD dapat didiagnosis dengan menggunakan Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental, Edisi Kelima (DSM-5) dan tingkat paparan trauma yang melibatkan kejadian yang mengancam jiwa, cedera serius, atau kekerasan seksual.  Beberapa gejala yang disebutkan itu setidaknya berlangsung minimal satu bulan dan gejalanya menyebabkan efek yang signifikan dan tidak dijelaskan dengan baik oleh kondisi medis atau kejiwaan lainnya. Kriteria diagnostik spesifik dari DSM-5 adalah sebagai berikut:

PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) – Diagnosis

A. Keberadaan satu (atau lebih) gejala yang terkait dengan peristiwa traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:

  1. Ingatan berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari peristiwa traumatis.
  2. Mimpi buruk yang menyiksa di mana konten atau pengaruhnya terhadap mimpi terkait dengan kejadian traumatis.
  3. Reaksi disosiatif, misalnya di mana individu merasa atau bertindak seolah-olah peristiwa traumatis berulang. (Reaksi semacam itu dapat terjadi pada sebuah kontinum, dengan ekspresi paling ekstrem menjadi hilangnya kesadaran akan lingkungan sekitar.)
  4. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatik.
  5. Reaksi fisiologis yang ditandai dengan isyarat internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatis.

B. Menghindari secara persisten stimulus yang berkaitan dengan trauma dan mematikan perasaan terhadap suatu hal sehingga akan berdampak pada perubahan rutinitas pribadi. Gejala ini meliputi:

  1. Kemampuan untuk menghindari pikiran, perasaan, percakapan yang berhubungan dengan kejadian trauma.
  2. Kemampuan menghindari aktivitas, tempat, orang yang dapat membangkitkan kembali kenangan akan trauma yang dialaminya.
  3. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari peristiwa trauma.
  4. Kurangnya ketertarikan dalam berpartisipasi terhadap peristiwa penting.
  5. Merasa terasing dari orang di sekitarnya.
  6. Terbatasnya rentang emosi (tidak dapat merasakan cinta dan dicintai).
  7. Perasaan bahwa masa depannya suram.

C. Perubahan negatif dalam kognisi dan suasana hati yang terkait dengan peristiwa traumatis, dimulai atau diperburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) dari kondisi berikut ini:

  1. Ketidakmampuan mengingat aspek penting dari kejadian traumatis (biasanya karena amnesia disosiatif dan tidak pada faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan terlarang).
  2. Keyakinan atau harapan yang negatif berlebihan tentang diri sendiri, orang lain, atau dunia (misalnya, “Saya buruk”, “Tidak ada yang bisa dipercaya”, “Dunia benar-benar berbahaya”, “Seluruh sistem saraf saya hancur secara permanen”).
  3. Kognisi yang terus-menerus dan menyimpang tentang penyebab atau konsekuensi dari kejadian traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain.
  4. Keadaan emosional negatif yang terus-menerus (misalnya ketakutan, ngeri, marah, bersalah, atau malu).
  5. Terlihat berkurang minat atau partisipasi dalam aktivitas signifikan.
  6. Memisahkan diri atau mengasingkan diri dari orang lain.
  7. Ketidakmampuan terus-menerus untuk mengalami emosi positif (misalnya, ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau perasaan cinta).

D. Perubahan yang ditandai dalam gairah dan reaktivitas yang terkait dengan kejadian traumatis, dimulai atau diperburuk setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) dari berikut ini:

  1. Perilaku yang mudah marah dan mudah tersulut emosinya (dengan sedikit atau tanpa provokasi) biasanya dinyatakan sebagai agresi verbal atau fisik terhadap orang atau objek.
  2. Perilaku ceroboh atau merusak diri sendiri.
  3. Selalu waspada (hypervigilance).
  4. Respons mengejutkan berlebihan.
  5. Masalah dengan konsentrasi.
  6. Gangguan tidur (misalnya, sulit mengantuk atau tertidurdengan nyenyak).

PTSD adalah diagnosis klinis; tidak ada tes laboratorium atau penelitian pencitraan otak yang saat ini digunakan dalam praktik klinis untuk mendiagnosis PTSD. Studi pencitraan otak dilakukan untuk mempelajari lebih lanjut tentang otak dalam kondisi PTSD, namun ini tidak digunakan dalam praktik medis sehari-hari. Pemeriksaan fisik dan beberapa tes darah mungkin diperlukan untuk menyingkirkan kondisi medis yang mungkin meniru PTSD, seperti hipertiroidisme yang dapat menciptakan keadaan kecemasan.

Selain DSM-5, diagnosis PTSD dapat ditegakkan dengan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III sebagai F 43.1, yaitu:

  1. Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu enam bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui enam bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu enam bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
  2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang-ulang kembali (flashback).
  3. Gangguan otonomik, gangguan afek, dan kelainan tingkah laku semuanya dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
  4. Suatu ‘sequelae’ menahun yang terjadi lambat setelah stres yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasi dalam kategori F 62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofia).
PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) – Halaman Selanjutnya: 1 2 3 4 5 6 7 8

DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi