Terbit: 12 December 2022
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: dr. Jati Satriyo

Stunting adalah gangguan pada anak yang dapat dicegah jika orang tua mengambil langkah-langkah penting dalam dua tahun pertama kehidupan seorang anak. Jika anak tidak mendapatkan makanan dan perawatan yang tepat selama waktu khusus itu, efeknya bisa sangat berbahaya.

Stunting pada Anak: Penyebab, Bahaya, dan Pencegahan

Apa itu Stunting?

Stunting adalah gangguan pertumbuhan kronis pada anak akibat kekurangan nutrisi dalam waktu lama. Anak stunting umumnya bertubuh lebih pendek dibanding anak seusianya. Seorang anak yang bertahan dengan kondisi ini, cenderung memiliki kemampuan belajar yang rendah dan lebih rentan terhadap penyakit.

Terlepas dari konsensus global tentang cara mendefinisikan dan mengukurnya, stunting adalah kondisi yang sering tidak diakui di masyarakat, di mana postur tubuh yang pendek adalah sesuatu yang normal dan sering kali tidak menjadi perawatan kesehatan primer.

Padahal, pertumbuhan tinggi seorang anak berfungsi sebagai penanda berbagai kelainan patologis yang terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, hilangnya potensi pertumbuhan fisik, penurunan perkembangan saraf dan fungsi kognitif, serta peningkatan risiko penyakit kronis di masa dewasa.

Penyebab Stunting pada Anak

Memahami penyebabnya adalah hal yang dapat dilakukan sejak janin di dalam kandungan. Berikut adalah berbagai penyebab stunting yang harus Anda tahu, di antaranya:

1. Asupan Nutrisi Ibu

Penyebab stunting yang pertama dipengaruhi oleh asupan nutrisi ibu hamil. Bumil yang kurang mengonsumsi makanan bergizi seperti asam folat, protein, kalsium, zat besi, dan omega-3 cenderung melahirkan anak dengan kondisi kurang gizi.

Kemudian saat lahir, anak tidak mendapat ASI eksklusif dalam jumlah yang cukup dan MPASI dengan gizi yang seimbang ketika berusia 6 bulan ke atas.

2. Kurangnya Asupan Makanan Sehat dan Bergizi sebagai MPASI

Pemberian makanan pendamping ASI yang tidak cukup dan kekurangan nutrisi penting di samping asupan kalori murni adalah salah satu penyebab pertumbuhan pada anak terhambat.

Seorang anak perlu diberi makanan yang memenuhi persyaratan minimum dalam hal frekuensi dan keragaman makanan untuk mencegah kekurangan gizi.

3. Kebersihan Lingkungan

Ada kemungkinan besar hubungan antara pertumbuhan linier anak-anak dan praktik sanitasi rumah tangga. Kontaminasi jumlah besar bakteri fecal coliform oleh anak-anak ketika meletakkan jari-jari kotor atau barang-barang rumah tangga di mulut mengarah ke infeksi usus.

Kondisi ini memengaruhi status gizi anak dengan cara mengurangi nafsu makan, mengurangi penyerapan nutrisi, dan meningkatkan kehilangan nutrisi.

Penyakit-penyakit yang berulang seperti diare dan infeksi cacing usus (helminthiasis) yang keduanya terkait dengan sanitasi yang buruk telah terbukti berkontribusi terhadap terhambatnya petumbuhan anak.

Enviromental enterophaty adalah infeksi usus halus pada anak yang disebabkan oleh sanitasi yang buruk. Infeksi kronis yang terjadi akibat lingkungan yang kotor dan sanitasi buruk menyebabkan fungsi usus halus terganggu.

Selain beberapa penyebab stunting seperti yang telah dijelaskan di atas, hal-hal lainnya yang bisa berkontribusi pada stunting adalah konflik sosial, kondisi iklim, harga dan ketersediaan pangan yang pada gilirannya berkontribusi menyebabkan stunting.

Baca Juga: Mengapa Berat Badan Anak Susah Naik? Bisa Jadi Ini Penyebabnya

Dampak Stunting pada Anak

Umumnya stunting adalah gangguan yang sering ditemukan pada balita, khususnya usia 1-3 tahun. Pada rentang usia tersebut, ibu dapat mengenal apakah anak mengalami kondisi ini atau tidak. Dampak stunting yang bisa terlihat antara lain:

1. Mengganggu Pertumbuhan Tinggi dan Berat anak

Stunting adalah salah satu dari berbagai penyebab anak lebih pendek dibandingkan dengan rata-rata anak seusianya. Berat badannya pun cenderung jauh di bawah rata-rata anak sebayanya.

2. Tumbuh Kembang Anak Tidak Optimal

Kondisi ini juga bisa terlihat pada tumbung kembang anak di mana anak menjadi terlambat jalan atau kemampuan motoriknya kurang optimal.

3. Memengaruhi Kecerdasan dan Kemampuan Belajar Anak

Menurut sebuah penelitian, stunting adalah salah satu faktor yang berpengaruh terhadap IQ anak lebih rendah dibanding anak seusianya. Anak akan sulit belajar dan berkonsentrasi akibat kekurangan gizi.

4. Mudah Terserang Penyakit

Jika anak mengalami stunting kemungkinan besar anak akan mengalami kondisi yang membuat anak mudah terserang penyakit dan berisiko terkena berbagai penyakit saat dewasa seperti diabetes, jantung, kanker dan stroke. Bahkan stunting pada anak juga bisa berujung pada kematian usia dini.

Stunting dan Terganggunya Proses Persalinan

Selain mengganggu perkembangan seorang anak ketika sudah dilahirkan, stunting juga bisa meningkatkan risiko kematian janin saat melahirkan jika ibu hamil ternyata mempunyai riwayat stunting.

Hal ini bisa terjadi karena ibu yang memiliki riwayat kondisi ini umumnya memiliki tinggi badan di bawah normal, sehingga cenderung memiliki ukuran panggul yang kecil, dan akhirnya kondisi ini mempersempit jalan lahir.

dengan tinggi di bawah normal cenderung memiliki ukuran panggul yang kecil. Kondisi ini kemudian mempersempit jalan lahir bayi.

Akibat proporsi ukuran yang tidak sesuai inilah, mengakibatkan ibu dengan postur tubuh yang pendek sulit untuk melakukan persalinan normal. Jika dipaksakan, kondisi ini bisa meningkatkan risiko kematian dan gangguan kesehatan pada bayi jangka pendek maupun jangka panjang.

Perbedaan Stunting dan Wasting

Kebanyakan orang awam menyamaratakan ciri stunting (pendek) dan wasting (balita kurus), padahal hal ini adalah dua bentuk malnutrisi terpisah yang memerlukan intervensi berbeda untuk pencegahan dan pengobatannya.

Akan tetapi, kedua bentuk malnutrisi ini memiliki hubungan yang erat dan sering terjadi bersama dalam populasi yang sama dan sering pada anak yang sama. Keduanya dikaitkan dengan peningkatan mortalitas, terutama ketika keduanya hadir pada anak yang sama.

Massa otot yang berkurang merupakan karakteristik dari kurus yang parah, tetapi ada bukti tidak langsung bahwa itu juga terjadi pada stunting. Berkurangnya massa otot meningkatkan risiko kematian selama infeksi dan juga dalam banyak situasi patologis lainnya.

Fokus Penanganan

Berkurangnya massa otot dapat mewakili mekanisme umum yang menghubungkan wasting dan stunting. Hal ini menunjukkan bahwa untuk mengurangi angka kematian terkait gizi buruk, intervensi harus bertujuan untuk mencegah wasting dan stunting, yang sering kali memiliki penyebab yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa intervensi pengobatan harus fokus pada anak-anak yang wasting dan stunting yang memiliki defisit terbesar dalam massa otot, daripada berfokus pada kekurangan gizi saja.

Penurunan massa lemak sering terjadi tetapi tidak konsisten dalam stunting. Lemak mengeluarkan banyak hormon, termasuk leptin, yang mungkin memiliki efek stimulasi pada sistem kekebalan tubuh.

Perlu diketahui juga bahwa leptin memiliki efek pada pertumbuhan tulang. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa anak-anak kurus dengan simpanan lemak rendah berdampak pada tinggi badannya yang tetap rendah.

Ini juga dapat menjelaskan keterkaitan stunting yang sering dikaitkan dengan wasting. Bagaimanapun, stunting dapat terjadi tanpa adanya wasting dan bahkan pada anak-anak yang kelebihan berat badan.

Dengan demikian, suplementasi makanan harus digunakan dengan hati-hati dalam populasi di mana stunting tidak terkait dengan wasting dan simpanan rendah lemak.

Baca Juga: Mengenal Kecerdasan Kinestetik Anak dan Cara Mengembangkannya

Pencegahan Stunting pada Anak

Ibu bisa mencegahnya sejak masa kehamilan. Beberapa tips yang bisa dilakukan untuk mencegah stunting adalah:

  1. Memperbaiki pola makan dan mencukupi kebutuhan gizi selama kehamilan.
  2. Memperbanyak konsumsi makanan yang mengandung zat besi dan asam folat untuk mencegah cacat tabung saraf.
  3. Memastikan anak mendapat asupan gizi yang baik khususnya pada masa kehamilan hingga usia 1000 hari anak.
  4. Tingkatkan kebersihan lingkungan dan meningkatkan akses air bersih di lingkungan rumah.

Hal penting yang harus dipahami, tidak ada solusi sederhana untuk mencegah stunting. Namun, berfokus pada rentang waktu antara kehamilan ibu dan ketika anak berusia dua tahun adalah kunci untuk memastikan perkembangan anak yang sehat.

Stunting di Indonesia

Data Kementerian Kesehatan mencatat prevalensi stunting terdiri atas balita yang memiliki badan sangat pendek 11,5% sementara dengan tinggi badan pendek mencapai 19,3%.

Prevalensi balita stunting pada 2018 naik dalam dua tahun terakhir dan berada di level tertingginya sejak 2014. Menurut standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting lebih dari 20% atau balita kurus di atas 5%.

Kurangnya asupan gizi serta pengetahuan orang tua akan pentingnya kesehatan menjadi salah satu penyebab tingginya balita dengan tinggi badan di bawah standar.

Kondisi Ibu dan Calon Ibu

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan memengaruhi pertumbuhan janin dan risiko stunting. Faktor lainnya pada ibu yang memengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan.

Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting.

Dari data Riskesdas tahun 2013, diketahui proporsi kehamilan pada remaja usia 10-14 tahun sebesar 0,02% dan usia 15-19 tahun sebesar 1,97%. Proporsi kehamilan pada remaja lebih banyak terdapat di pedesaan daripada perkotaan.

Sedangkan menurut data Susenas tahun 2017, hasil survei pada perempuan berumur 15-49 tahun diketahui bahwa 54,01% hamil pertama kali pada usia di atas 20 tahun (usia ideal kehamilan).

Sisanya sebesar 23,79% hamil pertama kali pada usia 19-20 tahun, 15,99% pada usia 17-18 tahun, dan 6,21% pada usia 16 tahun ke bawah. Hal ini menunjukkan bahwa setengah dari perempuan yang pernah hamil di Indonesia mengalami kehamilan pertama pada usia muda atau remaja.

Kondisi ibu sebelum masa kehamilan baik postur tubuh (berat badan dan tinggi badan) dan gizi merupakan salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya stunting.

Remaja putri sebagai calon ibu di masa depan seharusnya memiliki status gizi yang baik. Pada tahun 2017, persentase remaja putri dengan kondisi pendek dan sangat pendek meningkat dari tahun sebelumnya, yaitu 7,9% sangat pendek dan 27,6% pendek.

Dari sisi asupan gizi, 32% remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 berisiko kekurangan energi kronik (KEK). Sekitar 15 provinsi memiliki persentase di atas rata-rata nasional.

Jika gizi remaja putri tidak diperbaiki, maka di masa yang akan datang akan semakin banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh pendek dan/atau kekurangan energi kronik. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya prevalensi stunting di Indonesia.

Persentase Wanita Usia Subur (WUS) yang berisiko KEK di Indonesia tahun 2017 adalah 10,7%, sedangkan persentase ibu hamil berisiko KEK adalah 14,8%. Asupan gizi WUS yang berisiko KEK harus ditingkatkan sehingga dapat memiliki berat badan yang ideal saat hamil.

Sedangkan untuk ibu hamil KEK sudah ada program perbaikan gizi yang ditetapkan pemerintah yaitu dengan pemberian makanan tambahan berupa biskuit yang mengandung protein, asam linoleat, karbohidrat, dan diperkaya dengan 11 vitamin dan 7 mineral sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi.

Baca Juga: 10 Tips agar Anak Suka Makan Sayur dan Buah

Situasi Bayi dan Balita

Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting.

Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan.

Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu dini.

Provinsi dengan persentase tertinggi bayi baru lahir mendapat IMD adalah Aceh (97,31%) dan provinsi dengan persentase terendah adalah Papua (15%). Ada 12 provinsi yang masih di bawah angka nasional sedangkan Provinsi Papua Barat belum mengumpulkan data.

Secara nasional, cakupan bayi mendapat ASI eksklusif pada tahun 2017 sebesar 61,33%. Persentase tertinggi cakupan pemberian ASI eksklusif terdapat pada Nusa Tenggara Barat (87,35%), sedangkan persentase terendah terdapat pada Papua (15,32%). Masih ada 19 provinsi yang di bawah angka nasional.

Oleh karena itu, sosialisasi tentang manfaat dan pentingnya ASI eksklusif masih perlu ditingkatkan.

Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menye­babkan stunting.

Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan.

Guna memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal maupun PMT pabrikan yaitu biskuit khusus balita.

Jika berat badan telah sesuai dengan perhitungan berat badan menurut tinggi badan, maka makanan tambahan balita kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan makanan keluarga gizi seimbang.

 

  1. Anonim. Stunting in a nutshell. https://www.who.int/nutrition/healthygrowthproj_stunted_videos/en/. (Diakses pada 12 September 2019).
  2. Anonim. Stunting: What It Is Anda What It Means. https://www.concernusa.org/story/what-is-stunting/. (Diakses pada 12 September 2019).
  3. Anonim. What is stunting? And why should we know about it. https://www.concern.org.uk/news/what-stunting-and-why-should-we-know-about-it. (Diakses pada 12 September 2019).
  4. Briend, André, Tanya Khara, dan Carmel Dolan. 2015. Wasting and stunting–similarities and differences: policy and programmatic implications. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/25902610. (Diakses pada 12 September 2019).


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi