Terbit: 24 October 2019
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com– Kita tentu sering mendengar kelakar yang menyebut sering bekerja keras atau banyak pikiran bisa menyebabkan kebotakan. Tak disangka, anggapan ini ternyata tidak salah, lho. Hal ini dibuktikan oleh sebuah penelitian yang dilakukan di Korea Selatan. Seperti apa sih hasil penelitian ini?

Sering Lembur Bisa Sebabkan Kebotakan

Penyebab Sering Lembur Bisa Menyebabkan Kebotakan

Normalnya, jam kerja adalah sekitar 40 jam saja setiap minggu. Hanya saja, ada orang yang bekerja dengan durasi total yang lebih panjang. Bahkan, ada yang sengaja menambah pekerjaan atau melakukan pekerjaan sampingan di akhir pekan demi membuat pendapatannya meningkat. Sayangnya, hal ini bisa saja memberikan efek samping bagi kesehatan.

Dalam penelitian yang dilakukan di Sungkyunkwan University School of Medicine ini, disebutkan bahwa orang-orang yang bekerja dengan durasi 52 jam atau lebih dalam sepekan cenderung meningkatkan risiko terkena kebotakan hingga 2 kali lipat. Fakta ini terungkap setelah para peneliti mengecek kondisi 13 ribu pria dengan usia 20 – 59 tahun dalam waktu 40 jam.

Para partisipan ini dikelompokkan sesuai dengan jam kerja yang mereka lakukan setiap minggunya. Faktor lainnya seperti sudah menikah atau belum, seberapa banyak jumlah gaji yang didapatkan, hingga kebiasaan merokok juga dipertimbangkan. Hasilnya adalah, didapatkan fakta bahwa jam kerja yang panjang cenderung bisa membuat kita mengalami kebotakan.

Hal ini disebabkan oleh kecenderungan mudahnya stres datang jika kita bekerja dalam waktu yang lama. Hal ini akan membuat hormon pada bagian kulit kepala dan folikel rambut mengalami perubahan. Jika hal ini terjadi dalam jangka panjang, maka risiko mengalami kerontokan rambut parah atau kebotakan akan meningkat.

“Hasil penelitian kami mengungkap kaitan antara jam kerja yang panjang dengan masalah alopecia atau kebotakan yang disebabkan oleh sistem imun tubuh pada kaum pria,” ucap para peneliti Kyung-Hun Son.

Son menyebut stres akibat jam kerja yang panjang akan membuat sistem imun tubuh justru menyerang folikel rambut dan akhirnya membuanya rontok. Ia pun menyarankan setiap pengusaha atau atasan untuk memperhatikan durasi kerja para pekerja demi mencegah masalah kerontokan dan dampak kesehatan lainnya.

Beberapa Tanda Kebotakan

Pakar kesehatan menyarankan kita untuk mewaspadai tanda-tanda dari masalah kebotakan agar bisa segera mengatasi atau mencegahnya.

Berikut adalah tanda-tanda tersebut.

  1. Rambut yang Semakin Menipis

Rambut yang semakin menipis, khususnya di bagian dahi dan tengah kepala bisa jadi disebabkan oleh sudah kondisi kulit kepala yang menurun sehingga membuat pertumbuhan rambut tak lagi merata. Jika dahi kita cenderung semakin naik, ada kemungkinan kita mengalami masalah kebotakan.

  1. Mengalami Penipisan Rambut di Beberapa Bagian Tubuh

Tak hanya di bagian rambut kepala, terkadang kebotakan juga menyebabkan masalah lainnya seperti bagian alis atau bulu-bulu lainnya.

  1. Kerusakan Rambut

Kerusakan rambut seperti mudah patah, bercabang, mudah rontok, hingga ketombe parah bisa jadi menandakan bahwa rambut kita rentan mengalami kerontokan.

Mengatasi Masalah Kebotakan

Pakar kesehatan menyarankan kita untuk memeriksakan kondisi rambut ke dokter jika mulai merasakan masalah kebotakan. Jika kondisi kerontokan ini masih belum begitu parah, kita bisa mendapatkan obat atau terapi yang bisa mengatasinya. Hanya saja, jika kondisi kerontokan ini sudah berlangsung cukup parah, bisa saja dokter akan meminta kita melakukan beberapa terapi khusus seperti transplantasi rambut.

Kita juga harus lebih cermat dalam memilih produk perawatan rambut atau mengubah gaya hidup sehat seperti dengan tak lagi merokok, mengonsumsi makanan sehat, dan mengendalikan stres dengan lebih baik demi mengatasi masalah ini.

 

Sumber:

  1. Pulsford, Ben. 2019 Working Long Hours Can Make You Go Bald, Study Finds.com/working-long-hours-can-make-you-go-bald-study-finds/. (Diakses pada 24 Oktober 2019).

DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi