Terbit: 6 July 2018
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com – Setiap orang yang mengalami pelecehan seksual pasti akan mengalami gangguan fisik dan psikologis. Salah satu kasus pelecahan seksual yang mendapatkan banyak perhatian adalah sodomi. Apa itu sodomi? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sodomi adalah sebuah pencabulan dengan sesama jenis kelamin atau dengan binatang.

Mengenali Anak Korban Sodomi dari Anusnya

Selain itu, sodomi juga diartikan sebagai sanggama antarmanusia secara oral atau anal dan aktivitas seksual ini biasanya dilakukan antarpria. Menurut psikolog forensik dari Universitas Bina Nusantara, Reza Indragiri Amriel, pemeriksaan dubur untuk mengenali anak-anak korban sodomi sebenarnya tidak membutuhkan prosedur khusus. Pemeriksaan anus bahkan dapat dilakukan hanya dengan mata telanjang.

“Anak atau siapa pun yang telah menjadi objek penyemburitan atau sodomi akan memiliki anus berbentuk corong. Mirip dengan tabung kaca yang ada pada lampu semprong. Benar-benar bolong seperti tabung. Lewat pemeriksaan mata telanjang, anus berbentuk corong itu bisa langsung dilihat, jadi tak membutuhkan prosedur khusus,” ungkap Reza.

Akibat perlakuan sodomi, kata Reza, korban biasanya akan mengalami masalah dengan organ pencernaannya, terutama saat buang air besar karena bentuk dubur corong yang dimiliki korban. “Benar-benar bolong seperti tabung. Efeknya, mereka akan kesulitan menahan buang air besar karena otot-otot penahan pembuangannya sudah rusak,” imbuhnya.

Reza menekankan, walaupun tidak dibutuhkan prosedur khusus, pemeriksaan sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan mempertimbangkan dampak psikologis anak-anak yang menjalaninya. Sebelum pemeriksaan, perlu ada pendekatan dan sosialisasi yang tepat kepada anak dan pihak keluarga.

“Terlepas dari itu, jika dilakukan lewat paksaan, bisa kita bayangkan, akan memunculkan perasaan takut dan sejenisnya. Untuk mengatasinya, sekali lagi, awali dengan sesi informasi terlebih dahulu, baik untuk si anak maupun keluarganya,” tuturnya.

Trauma Masa Lalu dan Pengaruh di Masa Depan

Menurut pengamat psikologi Universitas Indonesia (UI), Fitriani F Syahrul, penyimpangan sosial bisa jadi disebabkan oleh depresi yang kemudian menyebabkan rusaknya pola pikir para pelaku pelecehan terhadap anak-anak. Selain itu, kasus perceraian juga menjadi faktor lain penyebab perkosaan di dalam keluarga.

Belum lagi, anak-anak cenderung menelan mentah-mentah ‘doktrin’ untuk patuh kepada orang tua. ‘Bisa saja pelaku frustrasi dengan kehidupannya sendiri, kemudian mencari pelampiasan kepada orang lain. Bahkan bisa anggota keluarga jadi target. Kata-kata ‘nurut orang tua’ ini jadi soft terror. Nah, ini yang tidak disadari secara langsung dan membuat pelecehan seksual terhadap anak-anak terjadi,” paparnya.

Fitriani mengungkapkan, dampak psikologis jika sodomi terjadi pada anak-anak biasanya tidak berbeda jika ditinjau dari jenis kelamin. Para korban pelecehan seksual itu cenderung tertutup, sulit beradaptasi, bermuatan energi negatif dan sensitif. Selain karakteristik kepribadian, jenis pelecehan seksual yang dialami juga memberikan dampak yang berbeda.

Pada dasarnya, semua pelecehan fisik meninggalkan trauma yang jauh lebih besar dibanding pelecehan verbal. Selain itu, frekuensi dan durasi terjadinya pelecehan seksual juga berpengaruh terhadap dampak yang ditimbulkan ketika anak tumbuh dewasa.

Semakin sering frekuensinya atau semakin lama durasinya, maka trauma yang ditimbulkan pada anak juga semakin besar. Semakin besar trauma yang ditimbulkan, maka semakin panjang waktu pemulihan yang dibutuhkan.

Side effectnya anak mengalami gangguan paranoid, trauma berkepanjangan. Sering kali yang mengalami trauma seperti itu ketika dewasa mereka bermasalah terkait hubungan dengan lawan jenis. Mereka pandangannya jadi negatif pada lawan jenis, karena gangguan psikologis yang berat,” tuturnya.

Lebih ironisnya, dampak lain dari efek kekerasan seksual yang diterima anak adalah mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang apatis. Apalagi, kata Fitiriani, jika mereka tidak mendapat penanganan yang baik dan kurang penanaman nilai religiusitas, maka sangat mungkin kelak dirinya akan mempraktikkan tindakan tersebut alias menjadi pedofil.

Selain itu, tingkat kenakalan anak-anak korban kekerasan seksual akan menjurus kepada pergaulan bebas yang mendasar pada perilaku seks menyimpang.

“Perilaku seks anak korban kekerasan ke depan akan menyimpang dan menjurus ke pergaulan bebas. Inilah yang terjadi di negara berkembang, sehingga penyebaran penyakit kelamin hingga HIV terus menjangkit,” kata Fitriani.

”Bisa jadi mereka nanti akan menjadi pedofil atau yang lain. Inilah yang harusnya dihindari,” imbuhnya.

Fitriani mengungkapkan, mengatasi trauma pada anak korban pelecehan seksual perlu mendapatkan penanganan yang serius. Di antaranya, keperdulian keluarga yang mengembalikan rasa percaya diri, terutama pada rasa aman kepada anak untuk bercerita. Utamanya, peran lingkungan agar sang anak korban sodomi tidak dikucilkan lingkungannya.

Cara Menjaga Anak Agar Terhindar dari Kekerasan Seksual

Berikut ini adalah beberapa cara menghindari kekerasan seksual pada anak, di antaranya:

  1. Tidak menyimpan rahasia

Ajarkan anak Anda untuk terbuka menyampaikan perasaannya, saat senang, sedih, takut dan gembira. Jika anak diperlakuan tidak senonoh maka otomatis anak akan bercerita dengan sendirinya

  1. Jangan kenakan aksesoris nama

Hindari aksesoris tertulis nama anak. Bisa saja orang tak dikenal menghampiri, lalu menyebutkan namanya seolah-olah kenal lalu menculiknya.

  1. Ajarkan menjaga organ tubuh

Katakan pada anak Anda bahwa organ intim mereka tidak boleh dipegang sembarang orang. Jika ada yang memegangnya ajarkan berteriak atau lari.

  1. Ajarkan jangan mudah percaya orang asing

Ceritakan kepada anak Anda agar berhati-hati bila bertemu dengan orang yang tidak dikenal dan jangan mau menerima apapun dari orang asing.

  1. Mencari perlindungan

Berikan pemahaman siapa saja orang yang dipercaya dan bisa melindunginya. Serta orang-orang yang bisa diminta bantuan, misalnya guru, polisi dan lainnya.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi