Terbit: 1 August 2019 | Diperbarui: 3 October 2022
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com- Akun Twitter milik seseorang yang mengaku menerapkan gaya hidup vegan @plantloverbarb menyebut telur lebih berbahaya atau tidak sehat jika dibandingkan dengan asap rokok. Apakah anggapannya memang sesuai dengan fakta kesehatan? Berikut adalah penjelasannya.

Benarkah Telur Lebih Berbahaya dari Asap Rokok?

Telur dianggap lebih berbahaya dari asap rokok

Dilansir dari situs mirror, akun ini menyebut makan satu butir telur bisa memberikan dampak yang sama dengan mengisap lima batang rokok. Hal ini disebabkan oleh kandungan di dalam kuning telur yang tinggi kolesterol.

Menurut akun ini, di dalam telur berukuran sedang kita sudah bisa mendapatkan 186 mg kolesterol. Hal ini berarti, mengonsumsinya sama saja dengan mendapatkan separuh asupan kolesterol maksimal harian.

Unggahan ini langsung viral di media sosial. Warganet pun langsung mengeluarkan pendapatnya masing-masing, baik itu yang pro ataupun kontra terkait dengan hal ini. Hanya saja, secara umum, pakar kesehatan memang menyarankan kita untuk tidak berlebihan dalam makan telur demi menjaga kesehatan tubuh.

Benarkah telur bisa menyebabkan kolesterol tinggi?

Meski rasanya cenderung lebih nikmat dibandingkan dengan putih telur, banyak orang yang mengaku memilih untuk menghindari kuning telur karena menganggapnya bisa menyebabkan kenaikan kadar kolesterol jahat.

Dalam realitanya, di dalam kuning telur memang memiliki kandungan kolesterol. Hanya saja, selain kolesterol, kita juga bisa mendapatkan kandungan yang baik bagi kesehatan seperti vitamin, asam folat, zat besi, serta riboflavin.

Berdasarkan sebuah penelitian yang dilakukan di University of Connecticut, dihasilkan fakta bahwa kandungan lemak di dalam kuning telur justru akan membantu menurunkan kadar kolesterol jahat atau LDL. Hal ini berarti, kita tidak perlu khawatir saat makan kuning telur asalkan tidak mengonsumsinya dengan berlebihan dan tidak mengolah telur dengan cara yang kurang sehat.

Penelitian lain yang dilakukan para ahli dari Harvard School of Public Health juga menghasilkan fakta bahwa mengonsumsi telur sebanyak tujuh butir setiap minggu tidak akan menyebabkan kenaikan risiko terkena penyakit kardiovaskular jika dibandingkan dengan mengonsumsi telur dengan jumlah yang lebih rendah.

Pakar kesehatan menyebut kandungan sehat di dalam telur layaknya vitamin B6, vitamin B12, asam lemak omega 3, asam folat, serta kolin justru bisa memberikan perlindungan bagi jantung dan pembuluh darah. Selain itu, di dalam telur juga terdapat kandungan L-arginine yang bisa merangsang produksi beberapa jenis hormon yang bisa mencegah masalah kolesterol tinggi atau gangguan kesehatan kardiovaskular lainnya.

Memperhatikan cara memasak telur yang baik

Meskipun secara umum baik bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah, kita harus memperhatikan cara mengolah telur demi mendapatkan manfaat sehatnya sekaligus menurunkan risiko terkena penyakit kardiovaskular. Sebagai contoh, kita sebaiknya tidak sering mengolahnya dengan cara digoreng. Selain itu, kita juga sebaiknya tidak mengolahnya dengan mentega atau diberi santan demi mencegah kenaikan kolesterol.

Penderita kolesterol tinggi tak boleh makan telur?

Sebuah penelitian yang dilakukan di Harvard Medical School, Amerika Serikat menghasilkan fakta bahwa kandungan di dalam kuning telur tidak akan menyebabkan dampak buruk bagi kadar kolesterol di dalam darah. Hal ini berarti, mengonsumsi kuning telur masih aman bagi penderita kolesterol tinggi.

Hanya saja, mereka juga harus membatasi konsumsinya agar tidak berlebihan dan sebaiknya tidak mengonsumsi telur goreng yang biasanya sudah memiliki kandungan lemak trans atau lemak jenuh yang kurang sehat.

Melihat fakta ini, kita tak perlu khawatir saat mengonsumsi telur. Justru, kita harus benar-benar berhenti merokok jika ingin mencegah datangnya masalah kesehatan karena dalam realitanya, rokok justru memiliki kandungan berbahaya yang bisa merusak berbagai macam organ tubuh.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi