Terbit: 22 June 2018 | Diperbarui: 26 January 2022
Ditulis oleh: Gerardus Septian Kalis | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com – Pesatnya perkembangan teknologi selain mempermudah pekerjaan manusia, hal itu ternyata juga mengubah kebiasaan seseorang. Dulu gawai hanya digunakan sebagai alat komunikasi, sekarang fungsinya bertambah sebagai ajang untuk selfie atau swafoto.

Alasan Psikologis Mengapa Seseorang Melakukan Selfie

Ketika fenomena selfie telah menjadi salah satu budaya yang berkembang pesat di seluruh dunia, hal ini membuat beberapa peneliti tertarik untuk menelitinya. Sebuah studi dari SUNY University di Buffalo meneliti kaitan antara harga diri dan penggunaan media sosial.

Temuannya mengungkapkan, bahwa orang yang mendasarkan harga dirinya pada pendapat orang lain lebih mungkin untuk mengunggah foto selfie di akun media sosialnya. Menurut penelitian ini, orang tipe ini tidak selalu percaya bahwa mereka mampu bersaing secara sosial. Hal itu membuat penampilan sebagai komponen penting dari harga diri.

 

Sementara itu, penelitian lain yang diterbitkan dalam jurnal Computers in Human Behavior menemukan bahwa, narsisme yang berlebihan memiliki kaitan erat dengan unggahan foto selfie di media sosialnya.

“Secara mendasar, kami masih terjebak dalam pemikiran bahwa orang-orang yang mempromosikan diri mereka adalah narsis,” kata Pamela Rutledge, Ph.D., Direktur Media Psychology Research Center, seperti dikutip dari Bustle.

Namun, bersama dengan psikolog dan peneliti lain, Rutledge tidak yakin bahwa mengunggah foto selfie adalah refleksi dari egoisme, seperti yang pernah dikatakan oleh beberapa studi yaitu narsisme adalah gangguan psikologis ketika seseorang memiliki rasa percaya diri yang sangat tinggi untuk kepentingan pribadinya dan juga rasa ingin dikagumi.

Rutledge juga mencatat bahwa narsisme mungkin memiliki konotasi negatif akhir-akhir ini, meski begitu narsisme tidak selalu memiliki sifat ‘buruk’. Narsisme tetap menjadi topik yang diperdebatkan dan dipelajari di kalangan psikolog sosial, dan Rutledge tidak percaya bahwa narsisme adalah sifat tidak baik yang mencerminkan karakter seseorang.

“Gerakan humanis memperkenalkan konsep narsisisme yang sehat—mengakui bahwa cinta diri atau harga diri dan penilaian realistis dan penghargaan atas kualitas seseorang diperlukan untuk perkembangan diri yang sehat,” kata Rutledge.

Menurutnya, narsisme sendiri memiliki beberapa tingkatan sehingga tidaklah tepat jika menganggap narsisme sebagai sesuatu yang abnormal. Rutledge mengungkapkan, kebanggaan atas potret diri sebenarnya sudah berlangsung sejak lama sebelum ditemukannya gawai.

Penemuan modern selfie ini relatif baru, jadi jika Anda langsung memberikan kesimpulan negatif mengenai orang yang gemar selfie hal itu adalah sesuatu yang tidak tepat. Banyak kondisi yang membuat seseorang melakukan selfie, dan selfie adalah bagian dari pengalaman manusia di era digital.

Rutledge mengungkapkan, aktivitas selfie adalah keinginan untuk memahami diri sendiri secara lebih baik dengan cara visual.

“Anda melihat orang-orang mencoba identitas yang berbeda, mencoba cara pandang berbeda pada diri mereka sendiri, mencoba memahami bagaimana orang lain melihat mereka, dan mencoba melihat ini seperti aspirasi orang lain terhadapnya,” katanya.

Pernyataan ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh James Kilner, ahli saraf dari University College London dalam diskusi National Portrait Gallery mengenai selfie. Ia mengatakan, “Kita dapat mengambil dan mengambil kembali foto diri kita sendiri hingga kita dapat menghasilkan gambar yang lebih mendekati pencocokan persepsi tentang apa yang kita pikirkan,” tuturnya.

Secara sadar atau tidak sadar, pada dasarnya setiap orang suka difoto. Menurut Rutledge, dengan hadirnya kamera depan di gawai, hal itu membuat seseorang tidak perlu lagi meminta orang lain untuk mengambil foto, karena kini semua orang bisa mengambil potret dirinya sendiri.

Tujuan Foto Selfie Berbeda-Beda

Tidak semua foto selfie memiliki tujuan yang sama. Setiap orang menggunakannya untuk mengomunikasikan berbagai hal dengan cara yang berbeda. Dalam sebuah penelitian baru-baru ini, para peneliti dari Brigham Young University mengidentifikasi tiga ‘tipe’ utama selfie: komunikator, autobiographers, dan self-publicists.

Menurut penelitian itu, tipe komunikator menggunakan selfie untuk terlibat dengan pengikut mereka dan merangsang munculnya diskusi. Tujuannya untuk menjalin komunikasi dua arah. Sedangkan tipe autobiographers fokus pada pendokumentasian dan berbagi peristiwa yang menurutnya penting.

Tipe ini hanya memiliki keinginan untuk mengeksposnya tetapi kurang peduli dengan umpan baliknya. Sementara kelompok terkecil ditempati oleh self-publicists, di mana tipe ini menggunakan selfie hanya untuk mendokumentasikan perjalanan hidupnya.

Menyalahartikan Selfie

Apa yang Anda pikirkan ketika Anda melihat seorang wanita muda mengunggah foto-foto provokatif diri mereka di media sosial?

Pernahkah Anda berpikir bahwa wanita tersebut sedang dieksploitasi atau bahwa mereka memiliki harga diri yang rendah?

Menurut Dr Khandis Blake seorang evolutionary social psychologist di University of NSW, wanita yang sering mengunggah foto selfie seksi sering disalahartikan dan mengabaikan dampak dari tindakan yang diambilnya.

Blake telah meneliti hubungan antara prevalensi selfie seksi, ketimpangan pendapatan dan ketidaksetaraan gender.

“Salah satu cara mengartikan narsis adalah ketika wanita dipaksa untuk melakukan seksualitas dan dijadikan objek atas tubuhnya sendiri,” kata Dr Blake seperti dikutip dari ABC Radio Sydney.

“Kita sering memiliki pandangan tentang perilaku semacam ini yang membuat mereka tidak berdaya, bahwa wanita yang mengubah Instagram menjadi pekerjaan penuh waktu dengan banyak foto selfie yang sama karena mereka hanya narsistik,” imbuhnya.

Dr Blake dan tim risetnya telah mempelajari fenomena perempuan yang melakukan selfie di beberapa platform media sosial seperti Instagram dan Twitter. Penelitian itu membuktikan bagaimana aspek lingkungan sosial, ekonomi dan politik dapat memprediksi foto selfie seksi seorang perempuan.

Berawal dari kerangka ide feminis, temuan itu menunjukkan bahwa wanita yang melakukan foto selfie seksi menunjukkan wanita yang tidak memiliki kekuatan sehingga memaksanya melakukan foto selfie dengan gaya seksi.

“Anda benar-benar akan melihat foto selfie seksi di daerah-daerah di mana ada lebih banyak ketidaksetaraan pendapatan,” ungkapnya.

Penelitian itu juga melihat tren selfie di lebih dari 100 negara, terutama fokus pada data di Amerika Serikat yang mengungkapkan ketimpangan pendapatan merupakan faktor yang signifikan.

“Tampaknya sangat banyak di negara-negara maju, semakin tidak adil kota Anda, semakin pinggiran daerah tempat tinggal Anda, semakin besar kemungkinan Anda akan melihat selfie seksi di lokasi itu,”

 

Dia berpendapat bahwa foto-foto itu hanya satu cara bagi wanita untuk mendaki hierarki sosial, terutama bagi mereka yang telah menemukan cara untuk mencari uang dari setiap unggahan gambar yang dilakukannya.

“Pada akhirnya mereka dapat memenuhi tujuan yang sama dengan cara yang berbeda,”

Terlepas dari baik buruknya tren selfie, pastikan bahwa foto yang Anda unggah memiliki suatu tujuan.

Misalnya, ‘saya mengambil foto selfie ini untuk menunjukkan bahwa saya di gym lagi hari ini’ ‘Saya mengambil foto selfie ini karena saya suka secangkir kopi’ atau ‘Saya mengambil foto selfie ini karena saya ingin memberi tahu kakakku betapa saya sangat mencintai hadiah yang dia kirimkan’.

Dengan kata lain, sebaik-baiknya foto selfie yang dilakukan, gunakan hal itu untuk memberikan pencerahan dan emosi positif pada diri Anda sendiri. Pastikan Anda mengingat setiap momen selfie yang Anda lakukan.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi