Terbit: 13 January 2020 | Diperbarui: 25 February 2022
Ditulis oleh: Gerardus Septian Kalis | Ditinjau oleh: dr. Antonius Hapindra Kasim

Epilepsi adalah gangguan sistem saraf pusat (neurologis) yang membuat aktivitas otak menjadi tidak normal, menyebabkan kejang, dan kadang-kadang menyebabkan hilangnya kesadaran. Gangguan sistem saraf pusat ini bisa memengaruhi pria dan wanita dari semua ras dan usia.

Epilepsi: Penyebab, Gejala, Diagnosis, dan Pengobatan

Di Indonesia, diperkirakan terdapat 1,3-1,6 juta penderita epilepsi. Meski begitu, jumlah ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya karena banyak keluarga yang tidak mau membawa anaknya ke puskesmas atau rumah sakit untuk berobat. Hal ini dikarenakan stigma yang diberikan pada penyakit epilepsi.

Penyebab Epilepsi

Pada sebagian besar kasus, penyebab epilepsi belum bisa diidentifikasi penyebabnya. Namun untuk kasus lainnya, beberapa faktor berikut ternyata memainkan peran dalam terjadinya epilepsi, di antaranya:

  • Pengaruh Genetik

Gen tertentu dapat membuat seseorang lebih peka terhadap kondisi lingkungan yang memicu kejang.

  • Trauma Kepala

Trauma pada kepala bisa terjadi akibat kecelakaan mobil atau cedera traumatis lainnya sehingga menyebabkan epilepsi.

  • Kondisi Otak

Kondisi yang menyebabkan kerusakan pada otak seperti tumor atau stroke otak dapat menyebabkan epilepsi. Stroke adalah penyebab utama gangguan sistem saraf pusat pada orang dewasa yang berusia lebih dari 35 tahun.

  • Penyakit Menular

Penyakit menular seperti meningitis, AIDS, dan viral ensefalitis dapat menyebabkan epilepsi.

  • Cedera Prenatal

Janin sensitif terhadap kerusakan otak yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti infeksi pada ibu, gizi buruk atau kekurangan oksigen. Kerusakan otak ini dapat menyebabkan epilepsi atau cerebral palsy.

  • Gangguan Perkembangan

Epilepsi adalah kondisi yang kadang-kadang dapat dikaitkan dengan gangguan perkembangan seperti autisme dan neurofibromatosis.

Faktor Risiko yang Meningkatkan Epilepsi

Berikut adalah faktor-faktor tertentu yang dapat meningkatkan risiko epilepsi adalah:

  • Usia. Gangguan sistem saraf pusat paling sering terjadi pada anak-anak dan lansia, namun kondisi ini dapat terjadi pada semua usia.
  • Riwayat keluarga. Jika Anda memiliki riwayat keluarga epilepsi, Anda mungkin berisiko tinggi mengalami kondisi yang sama.
  • Kegiatan yang berisiko membuat cedera kepala. Anda dapat mengurangi risiko dengan mengenakan sabuk pengaman saat mengendarai mobil dan mengenakan helm saat bersepeda, bermain ski, mengendarai sepeda motor atau melakukan kegiatan lain yang berisiko.
  • Stroke dan penyakit pembuluh darah lainnya. Stroke dan penyakit pembuluh darah dapat menyebabkan kerusakan otak yang dapat memicu epilepsi. Anda dapat mengambil sejumlah langkah untuk mengurangi risiko penyakit ini, termasuk membatasi asupan alkohol, menghindari rokok, konsumsi makanan yang sehat, dan berolahraga secara teratur.
  • Demensia. Demensia dapat meningkatkan risiko epilepsi pada orang dewasa yang lebih tua.
  • Infeksi otak. Infeksi seperti meningitis yang menyebabkan peradangan di otak atau sumsum tulang belakang dapat meningkatkan risiko terjadinya epilepsi.
  • Riwayata kejang di masa kecil. Demam tinggi di masa anak-anak kadang-kadang dapat dikaitkan dengan kejang, namun kejang yang disebabkan demam tinggi ini umumnya tidak akan berkembang menjadi epilepsi. Epilepsi pada anak terjadi karena kelainan sistem saraf atau riwayat keluarga dengan epilepsi, dan risikonya akan meningkat seiring dengan lamanya terjadi kejang.

Gejala Epilepsi

Karena epilepsi disebabkan oleh aktivitas abnormal di otak, hal itu dapat memengaruhi proses apa pun yang dikoordinasikan oleh otak. Tanda dan gejala epilepsi meliputi:

  • Kebingungan sementara.
  • Bergumam.
  • Gerakan menyentak lengan dan kaki yang tak terkendali.
  • Hilangnya kesadaran.
  • Gangguan psikis seperti ketakutan, kecemasan atau deja vu.

Meski begitu, gejala epilepsi bergantung pada jenis kejang yang terjadi. Dalam banyak kasus, seseorang dengan gangguan sistem saraf pusat akan cenderung memiliki tipe kejang yang sama, sehingga gejalanya akan serupa dari episode ke episode.

Kejang Fokal

Kejang yang terjadi akibat aktivitas abnormal pada satu area otak tertentu, sehingga hal ini  disebut kejang fokal (parsial). Kejang ini terbagi dalam dua kategori:

  • Kejang fokal tanpa kehilangan kesadaran (Simple Partial Seizure)

Sebelum mengalami kejang, penderita dapat mengalami perubahan emosi atau mengubah cara melihat, mencium, dll. Kondisi ini mengakibatkan sebagian tubuh (seperti lengan atau kaki) menyentak secara tidak disengaja disertai dengan gejala sensorik spontan seperti kesemutan, pusing, dan mata berkunang-kunang juga bisa terjadi.

  • Kejang fokal dengan gangguan kesadaran (Complex Partial Seizure)

Kejang tipe ini disertai pula dengan gangguan atau hilangnya kesadaran, sering ditemukan pula kondisi pasien dimana mata dalam keadaan melihat keatas, tidak merespons secara normal kondisi lingkungan sekitar, atau melakukan gerakan berulang seperti menggosok tangan, mengunyah, menelan, hingga gerakan berputar-putar.

Perlu diketahui juga, gejala kejang fokal bisa disebabkan oleh gangguan neurologis lainnya seperti migrain, narkolepsi, atau penyakit mental. Diperlukan pemeriksaan dan pengujian menyeluruh untuk membedakan gangguan sistem saraf pusat dari gangguan lain.

Kejang Umum

Kejang yang melibatkan semua area otak disebut kejang umum. Ada enam jenis kejang umum, di antaranya:

  • Kejang absen

Kejang absen sebelumnya dikenal sebagai kejang petit mal, sering terjadi pada anak-anak dan ditandai dengan mata menatap ke atas atau gerakan tubuh yang halus seperti mata berkedip atau gerakan bibir. Kondisi ini juga bisa menyebabkan hilangnya kesadaran singkat.

  • Kejang tonik

Kejang tonik menyebabkan otot menjadi kaku. Kejang-kejang ini biasanya memengaruhi otot-otot di punggung, lengan, dan kaki, sehingga dapat menyebabkan jatuh ke lantai.

  • Kejang atonik

Kejang atonik menyebabkan hilangnya kontrol otot (hilangnya tonus otot) yang dapat menyebabkan Anda tiba-tiba runtuh atau jatuh ke lantai.

  • Kejang klonik

Kejang klonik berhubungan dengan gerakan otot yang tersentak-sentak atau berirama. Kejang ini biasanya menyerang leher, wajah dan lengan.

  • Kejang mioklonik

Kejang mioklonik biasanya muncul sebagai sentakan singkat yang tiba-tiba atau berkedut pada lengan dan kaki.

  • Kejang tonik-klonik

Kejang tonik-klonik sebelumnya dikenal sebagai kejang petit mal, kejang ini adalah jenis epilepsi yang paling dramatis dan dapat menyebabkan hilangnya kesadaran secara tiba-tiba, tubuh menjadi kaku dan bergetar, serta kadang-kadang kehilangan kontrol kandung kemih atau menggigit lidah.

Kapan Waktu yang Tepat Harus ke Dokter?

Mencari bantuan medis segera jika salah satu dari gejala berikut terjadi:

  • Kejang berlangsung lebih dari lima menit.
  • Pernapasan atau kesadaran tidak kembali setelah kejang berhenti.
  • Kejang kedua segera terjadi.
  • Disertai demam tinggi.
  • Sedang hamil
  • Menderita diabetes.
  • Telah melukai diri sendiri selama kejang.

Jika Anda mengalami kejang untuk pertama kalinya, segeralah mencari bantuan medis terdekat.

Diagnosis Epilepsi

Biasanya dokter akan menanyakan riwayat kesehatan, misalnya apakah pasien menderita suatu kondisi yang bisa menyebabkan epilepsi. Selain itu, gaya hidup pasien, misalnya apakah pasien pecandu minuman beralkohol, pengguna narkotika, dan obat-obatan yang sedang dikonsumsi pasien juga sangat penting.

Selain itu dokter juga perlu mengetahui ciri-ciri kejang yang dialami. Hal ini perlu dilakukan karena sejumlah kondisi lain kadang-kadang memiliki gejala yang serupa dengan penyakit epilepsi seperti migrain dan serangan panik.

Selain memerhatikan gejala epilepsi yang muncul, pemeriksaan tambahan biasanya dilakukan untuk diagnosis epilepsi adalah:

  • Tes Darah

Dokter mungkin mengambil sampel darah untuk memeriksa tanda-tanda infeksi, kondisi genetik atau kondisi lain yang mungkin terkait dengan kejang.

  • Elektroensefalogram (EEG)

EEG dapat mengonfirmasikan diagnosis dan memberikan informasi lebih lanjut tentang kejang. Tindakan ini menggunakan sensor khusus yaitu elektroda yang dipasang di kepala dan dihubungkan melalui kabel menuju komputer.

EEG akan merekam aktivitas elektrik dari otak yang direpresentasikan dalam bentuk garis gelombang. Perubahan pola selama kejang dapat menunjukkan bagian mana dari otak yang dipengaruhi sehingga dapat membantu dalam pengobatan.

  • MRI Scan

Jenis pemeriksaan yang dilakukan dengan bantuan gelombang radio dan medan magnet ini menghasilkan gambar organ dalam tubuh secara terperinci. Hal ini bertujuan mengetahui adanya tumor otak atau kecacatan pada struktur otak sebagai penyebab epilepsi.

  • Positron Emission Tomography (PET)

Pemindaian PET menggunakan sejumlah kecil bahan radioaktif dosis rendah yang disuntikkan ke dalam vena untuk membantu memvisualisasikan area aktif otak dan mendeteksi kelainan.

  • Single-Photon Emission Computerized Tomography (SPECT)

Jenis tes ini digunakan terutama jika MRI dan EEG  tidak menentukan lokasi di mana kejang berasal. Tes SPECT menggunakan sejumlah kecil bahan radioaktif dosis rendah yang disuntikkan ke dalam vena untuk membuat peta 3-D rinci dari aktivitas aliran darah di otak selama kejang.

  • Tes Neuropsikologis

Dalam tes ini, dokter menilai kemampuan berpikir, daya ingat, dan kemampuan bicara. Hasil tes membantu dokter menentukan area otak mana yang terpengaruh.

Komplikasi Epilepsi

Kejang pada waktu-waktu tertentu dapat menyebabkan keadaan yang berbahaya bagi diri sendiri atau orang lain. Berikut beberapa komplikasi yang bisa terjadi dari epilepsi adalah:

  • Jatuh

Jika Anda jatuh saat kejang, Anda bisa melukai kepala atau mematahkan tulang. Sementara itu, kemungkinan lebih besar untuk tenggelam saat berenang juga harus diwaspadai.

  • Kecelakaan

Kejang yang menyebabkan hilangnya kesadaran atau kontrol bisa berbahaya jika Anda mengendarai kendaraan atau mengoperasikan peralatan lain.

  • Komplikasi Kehamilan

Kejang selama kehamilan menimbulkan bahaya bagi ibu dan janin, dan obat anti-epilepsi tertentu meningkatkan risiko cacat lahir. Jika Anda menderita epilepsi dan sedang mempertimbangkan untuk hamil, bicarakan dengan dokter saat merencanakan kehamilan.

Kebanyakan wanita dengan gangguan sistem saraf pusat bisa hamil dan memiliki bayi yang sehat. Anda harus dipantau dengan cermat sepanjang kehamilan, dan obat-obatan mungkin perlu disesuaikan. Sangat penting untuk konsultasi dengan dokter saat merencanakan kehamilan.

  • Masalah Kesehatan Emosional

Orang dengan epilepsi lebih cenderung memiliki masalah psikologis, terutama depresi, kecemasan dan pikiran serta perilaku bunuh diri. Masalah ini mungkin akibat kesulitan menangani kondisi serta efek samping obat.

Pengobatan Epilepsi

Rencana pengobatan epilepsi akan didasarkan pada keparahan gejala, kondisi kesehatan dan seberapa baik Anda merespons terapi.

Berikut adalah beberapa opsi perawatan yang bisa dilakukan untuk mengobati epilepsi adalah:

  • Diet

Diet dapat berperan dalam mengurangi kejang. Menurut studi yang diterbitkan di jurnal Neurology, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat dapat bermanfaat bagi anak-anak dan orang dewasa dengan epilepsi.

Meski terjadi penurunan keteraturan kejang sebesar 50 %, banyak orang sulit untuk mempertahankan diet ini. Diet tertentu mungkin bermanfaat dalam beberapa kasus, tetapi penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengonfirmasi hal ini.

  • Vagus Nerve Stimulator

Alat ini ditempatkan di bawah kulit dada melalui proses bedah dan secara elektrik merangsang saraf yang mengalir melalui leher. Alat ini juga dapat membantu mencegah kejang.

  • Operasi Otak

Area otak yang menyebabkan aktivitas kejang dapat dihilangkan atau diubah.

  • Obat untuk Epilepsi

Dokter dapat meresepkan obat tunggal atau kombinasi obat, tergantung pada jenis kejang yang dimiliki. Obat epilepsi yang umum meliputi:

  • Levetiracetam.
  • Lamotrigine.
  • Topiramate.
  • Asam valproat .
  • Carbamazepine.
  • Ethosuximide.

Obat-obatan ini umumnya tersedia dalam bentuk tablet, cairan, atau injeksi dan diminum sekali atau dua kali sehari. Anda akan mulai dengan dosis serendah mungkin, yang dapat disesuaikan sampai mulai bekerja. Obat-obatan ini harus diminum secara konsisten dan sesuai resep.

Beberapa efek samping obat epilepsi adalah kelelahan, pusing, ruam kulit, koordinasi yang buruk, hingga masalah memori. Meski jarang terjadi, obat ini menimbulkan depresi dan radang hati atau organ lainnya.

Epilepsi berbeda untuk semua orang, tetapi kebanyakan orang membaik dengan obat antikejang. Beberapa anak dengan gangguan sistem saraf pusat berhenti mengalami kejang dan dapat berhenti minum obat.

Pencegahan Epilepsi

Menurut World Health Organization, 25 % kasus gangguan sistem saraf pusat ini dapat dicegah. Berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi risiko epilepsi adalah:

  • Mengenakan helm saat mengendarai sepeda motor untuk membantu mencegah cedera kepala.
  • Mencari perawatan perinatal untuk mencegah epilepsi dari cedera kelahiran.
  • Mengelola faktor-faktor risiko untuk stroke dan penyakit jantung, dua penyakit yang dapat menyebabkan kerusakan otak sehingga mengakibatkan epilepsi
  • Mempraktikkan kebersihan yang baik dan metode pencegahan untuk menghindari sistiserkosis, infeksi yang merupakan penyebab paling umum.

Sebuah penelitian yang terbit di jurnal Seizure juga menyarankan bahwa aktivitas fisik secara teratur dapat membantu mencegah perkembangan epilepsi dan mengurangi seberapa sering kejang terjadi.

Meski mencegah kasus epilepsi adalah sesuatu yang tidak mudah, namun mengambil langkah-langkah di atas dapat membantu mengurangi risiko penyakit ini.

 

  1. Epilepsy. https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/epilepsy. (Diakses pada 13 Desember 2019).
  2. Epilepsy. https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/epilepsy/symptoms-causes/syc-20350093. (Diakses pada 13 Desember 2019).
  3. Klein, Erika. 2019. What to know about epilepsy. https://www.medicalnewstoday.com/articles/8947.php. (Diakses pada 13 Desember 2019).
  4. Pietrangelo, Ann. 2017. Everything You Need to Know About Epilepsy. https://www.healthline.com/health/epilepsy#epilepsy-treatment. (Diakses pada 13 Desember 2019).


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi