Terbit: 22 November 2017 | Diperbarui: 5 July 2022
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: dr. Ursula Penny Putrikrislia

Penelitian pada hewan dan manusia telah mengajarkan kita banyak tentang sistem stres internal. Ketika hewan laboratorium terkena stres berkepanjangan (biasanya dengan diberikan makanan yang lebih sedikit, diberi stimulasi listrik ringan kaki), hewan percobaan mulai mengembangkan sindrom stres. Sindrom ini terdiri dari tekanan darah tinggi (hipertensi), kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, atrofi otot (massa otot yang mengecil), ulkus gastrointestinal, hilangnya fungsi reproduksi, penekanan sistem kekebalan tubuh, dan depresi. Para peneliti juga memperhatikan bahwa stres dalam jangka waktu lama (stres kronis) akan membuat respon stress tersentisisasi (membuat sistem stres lebih responsif terhadap stres). Artinya, sistem stres ini kemudian terlalu berlebihan dalam merespon untuk stres baru. Peneliti juga akhirnya mengetahui bahwa pemberian obat tertentu, seperti amfetamin atau kokain, juga bisa mensensitisasi respon stres. Selain itu, stres yang terus menerus berlangsung akan meningkatkan kebutuhan pemberian obat pada hewan percobaan. Jadi, tercipatalah suatu lingkaran setan. Semakin banyak stres, semakin banyak hewan coba membutuhan obat, dan lebih tersentisisasi (mengalami peningkatan respon) terhadap stres.

Stres – Cara Mengenali Respon Tubuh terhadap Stres

Pemisahan awal dari ibu juga telah terlihat sebagai stressor potensial lain pada hewan. Pemisahan tersebut telah dikaitkan dengan peningkatan tingkat hormon stres yang menyebabkan sindrom stres, yang meliputi depresi. Penelitian pada manusia adalah untuk mengevaluasi bagaimana ibu stres, bahkan di awal kehamilan, sehingga dapat mempengaruhi perkembangan janin.

Mengapa stres maternal mempengaruhi janin? Jawabannya adalah komunikasi dari sirkulasi darah ibu dan janin. Dari darah ibu, janin mendapat hal-hal yang baik (misalnya, nutrisi dan oksigen) dan yang buruk. Komponen buruk dari darah dapat termasuk alkohol, nikotin, obat-obatan terlarang, beberapa obat, dan zat kimia alami tubuh untuk stres seperti kortisol dan norepinephrine.

Penelitian pada hewan dan manusia ini tampaknya menunjukkan bahwa stres yang berlebihan menyebabkan depresi. Dengan kata lain, stres kronis dalam rahim ibu (dalam rahim) mempengaruhiseseorang untuk mengembangkan sindrom depresi klinis di kemudian hari. Selanjutnya, eksperimen lainnya menunjukkan bahwa pemberian hormon stres benar-benar dapat menurunkan koneksi otak dan bahkan menurunkan jumlah sel-sel otak di daerah penting, seperti sistem limbik. Kehilangan koneksi otak dan sel-sel otak ini kemudian dapat menyebabkan penyesuaian yang tepat untuk stres.

Stres – Halaman Selanjutnya: 1 2 3 4 5 6 7 8 9

DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi