Terbit: 14 March 2019 | Diperbarui: 24 January 2022
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com – Kekurangan oksigen pada bayi atau disebut asfiksia membuat bayi yang baru lahir tidak akan menangis dan bernapas dengan normal. Asfiksia adalah sebuah keadaan bayi tidak bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.

Mengenal Asfiksia, Kekurangan Oksigen pada Bayi

Apa itu Asfiksia?

Asfiksia adalah kondisi di mana bayi tidak mendapat oksigen cukup selama proses kelahiran. Asfiksia dikenal dengan istilah lain seperti perinatal asfiksia atau asfiksia neonatorum. Kondisi ini dapat berakibat fatal pada bayi dan butuh penanganan segera.

Sering kali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah bayi kurang oksigen ini mungkin berkaitan dengan tali pusat, masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan dan kondisi kesehatan ibu.

Penyebab Asfiksia

Ada banyak penyebab asfiksia pada bayi baru lahir. Umumnya asfiksia pada bayi disebabkan oleh proses persalinan yang terlalu lama atau sulit, dan saluran oksigen bayi tertutup. Penyebab lainnya, bayi mengalami anemia, sehingga sel darah merah tidak membawa oksigen yang cukup.

Ibu yang memiliki tekanan darah tinggi atau tekanan darah rendah juga dapat memicu kekurangan oksigen pada bayi. Selain itu, terpisahnya plasenta dari rahim yang terlalu cepat juga dapat membuat bayi kekurangan suplai oksigen.

Pada dasarnya semua hal yang menyebabkan bayi kurang oksigen dapat menjadi menjadi asfiksia. Berikut adalah beberapa hal yang menyebabkan kekurangan oksigen pada bayi:

  • Lilitan tali pusat.
  • Infeksi yang terjadi pada ibu atau bayi.
  • Terjadi sumbatan pada saluran napas bayi.
  • Persalinan berlangsung lama atau sulit.
  • Ibu tidak mendapatkan asupan oksigen yang cukup sebelum atau selama persalinan.
  • Tersedak  dapat menyebabkan penyumbatan saluran udara seperti laring, bronkus, faring, dan trakea sehingga terjadilah asfiksia. Asfiksia mungkin juga terjadi karena bayi tersedak oleh cairan seperti susu atau cairan yang sempat dimuntahkannya.
  • Menghirup asap atau zat kimia bisa menyebabkan bayi Anda mengalami asfiksia

Perlu diketahui, kekurangan oksigen pada bayi dapat menyebabkan kerusakan secara langsung (dalam beberapa menit). Sementara itu, bayi terlahir prematur berada pada peningkatan risiko tertinggi untuk asfiksia. Bayi kurang oksigen juga bisa dipengaruhi oleh kondisi ibu saat memasuki kehamilan seperti preeklampsia atau diabetes melitus.

Sebuah studi mengungkapkan, bahwa usia ibu atau berat badan lahir rendah bayi juga menjadi faktor risiko kekurangan oksigen pada bayi.

Gejala Asfiksia

Setelah Anda mengetahui beberapa penyebab kekurangan oksigen pada bayi seperti di atas, kini saatnya Anda mengenali gejala asfiksia. Perlu diketahui, bayi kurang oksigen kadang terjadi tanpa disertai gejala.

Pada umumnya, gejala yang terlihat pada bayi antara lain kulit bayi terlihat pucat atau menimbulkan warna biru, detak jantung lemah, bayi terlihat susah bernapas. Jika kondisi ini tidak mendapatkan penanganan dengan segera bayi Anda bisa mengalami kerusakan pada jantung, otak, ginjal dan hati.

Lamanya kekurangan oksigen pada bayi memengaruhi keparahan gejala. Semakin lama bayi kurang oksigen atau penanganan bayi kurang oksigen, semakin besar pula bayi mengalami gangguan kesehatan yang berat.

Karena kekurangan oksigen pada bayi bisa menyebabkan terjadinya kerusakan pada otak bayi, maka beberapa gangguan yang bisa terjadi adalah:

  • Kejang.
  • Hipotonia.
  • Gangguan makan pada bayi.
  • Gangguan kesadaran pada bayi.
  • Melemahnya refleks batang otak dapat menyebabkan gangguan pernapasan, gangguan tekanan darah dan gangguan denyut jantung.

Dalam jangka panjang, kekurangan oksigen pada bayi dapat menyebabkan terjadinya kerusakan otak permanen dan cerebral palsy. Cerebral palsy adalah kondisi gangguan otot dan saraf pada bayi baru lahir. Beberapa gejala yang dapat ditemukan pada cerebral palsy, di antaranya:

  • Gangguan tonus otot, bisa jadi terlalu kaku ataupun terlalu lemas.
  • Gangguan koordinasi gerakan otot (ataksia).
  • Gangguan makan dan gangguan menelan.
  • Gangguan bicara dan keterlambatan bicara.
  • Gangguan perkembangan motorik seperti terlambatan berjalan, duduk, atau berguling.
  • Refleks otot yang abnormal.
  • Mengalami tremor atau terjadinya gerakan-gerakan yang tidak disadari.
  • Gerakan tubuh yang melambat.
  • Sulit untuk berjalan.

Diagnosis Asfiksia

Guna mendiagnosis kekurangan oksigen pada bayi, dokter biasanya akan menghitung skor APGAR. Ini adalah pengecekan dokter untuk Appearance (apakah bayi tampak biru atau tidak), Pulse (menilai denyut jantung bayi), Grimace (menilai respon bayi bila diberi rangsangan), Activity (melihat kontraksi otot bayi), dan Respiration (menilai bunyi napas bayi, terdengar atau tidak).

Masing-masing komponen tersebut diberi skor 0, 1, atau 2. Semakin baik kondisi bayi, skor APGAR semakin tinggi. Jika kondisi bayi dianggap mengalami asfiksia skor APGAR akan menunjukkan angka di bawah 7. Selain dengan skor APGAR, foto rontgen dada juga akan dilakukan untuk membantu mengetahui lebih detil penyebab asfiksia.

Penanganan Asfiksia

Penanganan asfiksia tergantung pada tingkat keparahan asfiksia yang dialami bayi. Umumnya ibu dapat menerima oksigen tambahan sebelum melahirkan untuk meningkatkan kadar oksigen yang diterima oleh bayi.

Setelah lahir, bayi dengan kondisi asfiksia memerlukan bantuan pernapasan untuk mendukung pernapasannya. Menjaga bayi tetap hangat juga dapat mengurangi risiko kekurangan oksigen pada bayi semakin parah. Kekurangan oksigen pada bayi juga dapat dicegah dengan melakukan operasi caesar.

Penanganan bayi kurang oksigen yang masuk kategori sedang dan berat akan memerlukan bantuan napas melalui selang oksigen  hingga alat bantu napas yang lebih intensif dalam waktu tertentu.

Penggunaan alat bantu sendiri tergantung dari kondisi bayi itu sendiri dan seberapa cepat pemulihannya. Hal itu berguna untuk menentukan kapan bayi tidak memerlukan bantuan oksigen lagi.

Perlu diketahui bahwa kekurangan oksigen pada bayi tidak bisa dicegah. Ibu hamil disarankan untuk melakukan kontrol rutin dengan dokter kandungan untuk memastikan kondisi janin.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi