Terbit: 10 January 2020 | Diperbarui: 10 May 2022
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

Belakangan ini di media sosial sedang viral unggahan dari akun Instagram doktermuslim.id. Dalam unggahan pada 1 Januari 2020 kemarin tersebut, terdapat seseorang yang disebut sebagai dr. Zaidul Akbar menyebut kebiasaan makan daging babi bisa menyebabkan seseorang memiliki orientasi seksual LGBT. Apakah anggapan ini memang benar?

Makan Daging Babi Sebabkan LGBT? Ini Faktanya!

Benarkah Daging Babi Terkait dengan Orientasi Seksual LGBT?

Dalam video unggahan tersebut, dr. Akbar menyebut apa yang kita makan bisa memberikan pengaruh besar bagi perilaku kita. Ia menyebut kebiasaan makan kerupuk masyarakat Indonesia membuat kita memiliki mental kerupuk atau kurang berani. Ia juga menyebut kebiasaan masyarakat di wilayah tertentu yang sering mengonsumsi daging babi membuat LGBT menyebar luas di wilayah tersebut.

Menurutnya, babi memiliki sifat dan perilaku yang bisa membuat orang yang memakannya memiliki orientasi seksual LGBT yang memang masih menjadi hal yang kontroversial di Indonesia.

Pakar kesehatan dr. Adrian Setiaji dari DokterSehat menyebut makanan tidak bisa semudah itu mempengaruhi gen atau orientasi seksual seseorang. Ia juga menyebut LGBT lebih dipengaruhi oleh faktor gen dan lingkungan. Hanya saja, khusus untuk faktor gen dan lingkungan, hal ini bisa dipengaruhi oleh banyak sekali hal. Hal ini berarti, menyalahkan makanan seperti daging babi bisa menyebabkan perilaku LGBT bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak tepat.

Dr. Eko Budhidarmaja juga menyebut faktor lingkungan memang bisa mempengaruhi orientasi seksual, namun pemicunya sepertinya bukanlah makanan, melainkan lebih ke pengalaman seksual tertentu atau kenyamanan berada di komunitas homoseksual.

Dalam penjelasan yang diunggah di Youtube oleh dr. Ryu Hasan, SpBS, PhD, beliau menyebut jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual sebagai sesuatu yang berbeda. Dr. Ryu menyebut homoseksual tidak bisa dianggap sebagai penyakit semenjak tahun 1973. Dia juga menyebut perilaku LGBT tidak menular, namun bisa dianggap sebagai bakat yang terkait dengan perkembangannya sejak di dalam kandungan.

Makanan Mempengaruhi Gen Manusia?

Dr. Zaidul Akbar menyebut makanan bisa mempengaruhi gen manusia. Ternyata, hal ini pernah ada penelitiannya dan dilakukan di Norwegia, tepatnya di Norwegian University of Science and Technology (NTNU). Dalam penelitian yang dipublikasikan pada September 2011 ini, disebutkan bahwa makanan memang bisa mempengaruhi gen manusia, namun hal ini lebih ke risiko terkena penyakit seperti penyakit kardiovaskular, kanker, diabetes tipe 2, dan demensia.

Penelitian ini sama sekali tidak menyebut makanan bisa mempengaruhi orientasi seksual seseorang. Hanya saja, para peneliti juga meminta kita untuk menerapkan pola makan yang sehat demi memastikan kondisi tubuh terjaga dan tidak mudah terkena masalah kesehatan.

Daging Babi Termasuk Dalam Makanan Tidak Sehat

Pakar kesehatan menyebut kebiasaan makan daging babi terkait dengan peningkatan risiko terkena beberapa masalah kesehatan. Berikut adalah beberapa di antaranya.

  • Bisa menyebabkan kanker kolorektal. Hal ini disebabkan oleh banyaknya daging babi yang diolah menjadi daging olahan yang memiliki kandungan yang bisa memicu datangnya kanker yang menyerang usus besar ini.
  • Bisa memicu penyakit hati. Kandungan senyawa N-nitroso di dalam daging babi yang diolah dalam suhu tinggi bisa meningkatkan risiko kanker hati dan sirosis hati.
  • Bisa meningkatkan risiko hepatitis E. Jika kita sering mengonsumsi daging babi, apalagi hati babi, bisa jadi akan tertular virus hepatitis E yang sangat berbahaya.
  • Bisa menyebabkan cacingan. Daging babi bisa menyebabkan cacingan, apalagi jika daging tersebut memang sudah terkontaminasi cacing berjenis trichinella dan daging ini tidak diolah hingga benar-benar matang.

 

Sumber:

  1. Minger, Denise. 2017. 4 Hidden Dangers of Pork. www.healthline.com/nutrition/is-pork-bad. (Diakses pada 9 Januari 2020).
  2. Anonim. 2011. Feed your genes: How our genes respond to the foods we eat. www.sciencedaily.com/releases/2011/09/110919073845.htm. (Diakses pada 9 Januari 2020).
  3. dr. Ryu Hasan. https://youtu.be/kM71C4MPV5o

DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi