DokterSehat.Com- Kematian suporter klub Persija Jakarta Haringga Sirila tatkala akan menonton tim kesayangannya bertanding melawan Persib Bandung di Gelora Bandung Lautan Api (GBLA) memicu kecaman dari banyak pihak. Video pengeroyokan yang diterima Haringga pun menunjukkan sisi kelam dari persepakbolaan nasional yang masih dipenuhi dengan kekerasan.

Mengingat kasus kekerasan, pengeroyokan, dan kerusuhan di dunia sepakbola Indonesia masih cukup tunggi, banyak orang yang kemudian bertanya-tanya; mengapa suporter sepakbola cenderung mudah untuk melakukan kekerasan, apalagi terhadap rivalnya? Bahkan, terkadang kekerasan ini bisa terjadi pada orang yang tidak terkait dengan sepakbola namun hanya terkait dengan asal dari seseorang.
Pakar kesehatan menyebutkan bahwa di dalam tubuh manusia masih terdapat “otak primitif”. “Otak primitif” ini akan aktif tatkala kita sedang berada di dalam kondisi massal atau di tengah-tengah banyak orang. Otak ini cenderung hanya bersifat reaktif sehingga membuat kita tidak bisa berpikir jernih.
Di dalam otak kita terdapat bagian yang bernama neo cortex, bagian yang cenderung sudah matang saat orang sudah tumbuh dewasa sehingga bisa mempengaruhi cara berpikir kreatif atau berpikir logis.
Sayangnya, di usia remaja, tepatnya di usia 12-18 tahun, bagian otak yang dewasa in belum berkembang sehingga masih bisa dikuasai oleh otak primitif.
Yang menjadi masalah adalah, otak primitif cenderung mengedepankan emosi alih-alih logika. Karena alasan inilah banyak remaja yang cenderung lebih mengedepankan hal ini saat terkena masalah atau berada dalam kondisi tertentu.
Sayangnya, kebanyakan suporter sepakbola di Indonesia juga masih yang berusia remaja. Terlebih, banyak dari mereka yang hidup dalam lingkungan atau tingkat ekonomi yang keras. Hal ini ikut mempengaruhi kemampuan berpikir atau memutuskan sesuatu. Hal inilah yang membuat mereka seperti mudah untuk terpancing untuk melakukan kekerasan.