Terbit: 28 December 2018
Ditulis oleh: Gerardus Septian Kalis | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com – Bencana tsunami yang terjadi di Selat Sunda adalah sebuah bencana yang berbeda dari bencana tsunami pada umumnya. Biasanya tsunami akan terjadi setelah diawali dengan gempa, namun terjangan gelombang air laut yang terjadi di Serang, Pandeglang dan Lampung Selatan ini tidak disertai dengan gempa, akan tetapi tercipta karena erupsi vulkanik Anak Krakatau. Melihat fenomena yang terjadi, tentu hal ini menjadi perbincangan di seluruh dunia.

Orang Narsis Cenderung Lebih Perhatian Terhadap Kondisi Orang Lain

Selfie, Narsistik dan Kondisi Mental

Meski banyak menjadi perbincangan di sejumlah media asing, The Guardian, media asal Inggris itu menulis tsunami yang terjadi di Selat Sunda dengan sudut pandang yang berbeda. Dalam laporannya, The Guardian menulis terdapat sekelompok orang yang melakukan selfie di lokasi bencana untuk mendapatkan likes di media sosialnya. Lantas, apakah tindakan selfie di lokasi bencana menandakan ada masalah dengan kondisi mental orang tersebut?

Dunia medis berpandangan bahwa narsis termasuk gangguan mental jika seseorang terlalu mementingkan dirinya sendiri dan tidak berempati pada orang lain. Ketika mendapatkan kritik, seorang narsis akan mudah terluka.

Perlu diketahui, narsis sendiri didasari oleh rasa takut menunjukkan kelemahan diri dan rasa tidak nyaman terhadap kemampuan sendiri. Sifat narsis mendorong persaingan yang tidak sehat dan merujuk kepada dominasi. Seorang narsis akan berusaha kuat untuk menjatuhkan orang yang berbeda pandangan darinya. Lantas, apakah foto selfie di lokasi bencana tsunami Selat Sunda menandakan adanya masalah dengan kejiwaan? Jawabannya adalah tidak.

“Ketika orang melihat foto-foto kehancuran, mereka menyadari bahwa mereka berada di tempat yang lebih baik. Foto kerusakan akan mendapatkan lebih banyak likes. Mungkin itu akan mengingatkan orang untuk bersyukur,” kata Solihat, seperti dikutip dari The Guardian.

“Jika Anda mengambil selfie untuk pamer, maka jangan lakukan itu. Tetapi jika Anda melakukannya untuk berbagi kesedihan dengan orang lain, tidak apa-apa,” kata perempuan asal Cilegon yang bersama teman-temannya memberikan sumbangan pakaian pada koban bencana tsunami Selat Sunda,

Gemar Selfie Namun Tidak Antisosial

Seperti dikutip dari Psychology Today, sebuah penelitian yang diterbitkan di Personality and Social Psychology Bullet mengeksplorasi perilaku prososial dengan mengajukan pertanyaan, “Bisakah seorang narsis menjadi seseorang yang baik dan membantu mereka yang membutuhkan?” Jawabannya adalah iya.

Perlu diketahui, karena seorang narsis sering memosisikan diri sebagai kekuatan dominan, para peneliti kemudian memanfaaatkan kecenderungan psikologis ini dengan membuat sumbangan narsis. Penelitian yang dilakukan pada lebih dari 1.000 peserta ini mempelajari permohonan amal yang disajikan.

Salah satu penelitian meminta peserta untuk menulis cerita tentang seorang anak pengungsi yang menjadi korban perang di negaranya. Setengah peserta diperintahkan untuk menempatkan diri dalam situasi anak (‘Saya …’), dan setengah lainnya (kelompok penerima bantuan) diminta untuk membayangkan situasi anak (‘Dia …’).

Setelah kegiatan menulis cerita, semua peserta melihat status di Facebook dari organisasi amal yang meminta dukungan keuangan untuk anak-anak pengungsi. Hasilnya mengungkapkan, bahwa niat donasi lebih besar pada individu yang memiliki tingkat narsisme tinggi dibanding mereka yang memiliki tingkat narsisme rendah.

Sementara itu, niat donasi lebih kecil pada mereka yang tingkat narsisisnya tinggi ketika mereka memusatkan energi imajinatif sebagai penerima amal dan bukan pada diri mereka sendiri.

Penelitian menunjukkan bahwa narsisisme tinggi lebih baik dalam membayangkan perilaku amal ketika dihadapkan pada daya tarik imajinasi-diri dibandingkan dengan daya tarik imajinasi-penerima. Jika seorang narsis mensimulasikan situasi seolah-olah pemberi bantuan adalah penerima, ini memiliki efek empati serta memunculkan dan mengarah pada hasil amal yang lebih besar.

Jika sebelumnya individu narsis sering dikaitkan dengan egoisme dan tingkat empati yang lebih rendah, penelitian ini menawarkan sebuah pandangan baru bagi badan amal untuk menggunakan teknik-teknik persuasi secara khusus yang menargetkan orang-orang dengan narsisme tinggi.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi