Terbit: 2 September 2019 | Diperbarui: 31 May 2022
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com- Belasan mobil mengalami kecelakaan di tol Cipularang di ruas KM 91 pada Senin, 2 September 2019 siang. Aparat menyebut ada enam orang yang meninggal akibat tabrakan beruntun tersebut. Pakar kesehatan juga menyebut korban selamat rentan mengalami gangguan stres pasca trauma mengingat kejadian kecelakaan ini sangat mengerikan.

Korban Kecelakaan di Cipularang Rentan Terkena Gangguan Stres Pasca Trauma

Gangguan Stres Pasca Trauma Bisa Menyerang Korban Selamat Kecelakaan di Tol Cipularang

Tak hanya korban atau orang-orang yang terlibat langsung pada kecelakaan ini, orang-orang yang melihat video atau foto kecelakaan di tol Cipularang juga merasakan kengerian dari tabrakan beruntun yang membuat banyak mobil ringsek dan terbakar. Hanya saja, khusus bagi para korban, hal ini bisa memicu gejala gangguan stres pasca trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD) layaknya mimpi buruk, teringat dengan kengerian kejadian, jantung yang berdebar-debar, hingga gangguan lambung.

Memang, gejala dari masalah psikologis ini bisa menghilang seiring dengan waktu, namun bagi sebagian orang, bisa menyebabkan ketakutan yang luar biasa. Sebagai contoh, ada yang sampai tak ingin lagi naik kendaraan akibat mengalami kecelakaan.

Jika sampai hal ini terjadi, tak ada salahnya jika korban kecelakaan atau penderita masalah stres pasca trauma lainnya untuk berkonsultasi ke psikiater atau psikolog demi mengatasinya sehingga bisa kembali melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal.

Dampak Gangguan Stres Pasca Trauma Bisa Berbeda Bagi Pria dan Wanita

Pakar kesehatan menyebut gangguan pasca trauma bisa memberikan dampak yang berbeda bagi pria dan wanita. Fakta ini diungkap oleh Erin Digitale dari Stanford University School of Medicine.

Dalam penelitian yang dilakukannya, disebutkan bahwa wanita, khususnya yang masih berusia anak-anak lebih rentan mengalami gangguan stres pasca trauma jika dibandingkan dengan anak laki-laki. Fakta ini terungkap setelah peneliti melakukan pemindaian otak dengan menggunakan mesin MRI dari 59 partisipan.

Hasilnya adalah, anak perempuan cenderung lebih mudah mengalami gangguan stres pasca trauma di usia dewasa jika mengalami kejadian traumatis dibandingkan dengan anak laki-laki yang juga mengalami kejadian traumatis yang sama. Kondisi ini terkait dengan struktur otak pada laki-laki dan wanita yang ternyata berbeda, khususnya di bagian insula yang memililki peran besar dalam memroses emosi, empati, dan adaptasi.

Banyak wanita yang mengalami gejala stres pasca trauma yang akhirnya mengalami kilas baik tentang kejadian traumatis yang dialaminya. Mereka bisa saja merasa bersalah, sulit bersosialisasi, susah tidur, hingga kesulitan untuk melakukan aktivitas normal lainnya. Mau tidak mau, mereka harus meminta bantuan dokter atau psikiater demi mengatasi kondisi ini.

Beberapa Hal yang Bisa Dilakukan Untuk Mengatasi Trauma Psikis

Pakar kesehatan menyebut ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi trauma psikis.

Berikut adalah yang bisa dilakukan.

  1. Terapi Somatik

Terapi somatik bisa dilakukan demi mengembalikan kondisi tubuh dan melepaskan emosi negatif. Diharapkan, hal ini akan membuat kondisi tubuh dan psikis juga semakin membaik.

  1. Terapi Kognitif

Terapi kedua yang bisa didapatkan penderita trauma psikis adalah terapi kognitif perilaku. Cara ini dianggap cukup efektif mengatasi trauma, khususnya jika dikombinasikan dengan terapi somatik.

  1. Terapi EMDR

Terapi Eye Movement Desensitization and Reprocessing (EMDR) bisa membantu mengatasi trauma pada otak.

  1. Tidak Lagi Menyalahkan Diri

Cobalah untuk tidak lagi menyalahkan diri sendiri dari kejadian traumatis masa lampau dan mulai fokus pada aktivitas terkini atau tujuan di msa depan.

  1. Tetap Aktif

Dengan tetap aktif dan melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa, maka hal ini akan membantu kita setidaknya melupakan kilas balik dari kejadian traumatis.

Sumber:
Digitale, Erin, Traumatic Stress Changes Brains of Boys, Girls Differently, med.stanford.edu (Diakses pada 2 September 2019)


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi