Efek samping antibiotik paling sering memengaruhi sistem pencernaan, termasuk diare, mual, dan muntah. Selengkapnya ketahui efek samping lainnya.
Efek Samping Antibiotik
Antibiotik adalah obat untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotik dapat mengobati beberapa infeksi, termasuk bronkitis, pneumonia, dan infeksi saluran kemih. Obat ini membunuh bakteri penyebab infeksi atau menghentikan pertumbuhan bakteri. Meski begitu, antibiotik memiliki efek samping yang patut diwaspadai!
Berikut ini sejumlah efek samping antibiotik:
1. Sakit Perut
Sebagian besar antibiotik menyebabkan sakit perut atau efek samping gastrointestinal lainnya, termasuk mual, muntah, kram, dan diare.
Obat yang termasuk dalam golongan antibiotik adalah makrolida, sefalosporin, penisilin, dan fluorokuinolon, dapat menyebabkan sering sakit perut daripada antibiotik lainnya.
2. Demam
Demam adalah salah satu efek samping dari berbagai macam obat, termasuk antibiotik. Suhu tubuh tinggi bisa terjadi karena reaksi alergi terhadap obat atau sebagai efek samping antibiotik yang buruk.
Demam akibat obat dapat terjadi dengan antibiotik apa pun, tetapi lebih sering terjadi dengan obat berikut:
- Beta-lactams.
- Cephalexin.
- Minocycline.
- Sulfonamides.
3. Fotosensitivitas
Jika mengonsumsi antibiotik, misalnya tetrasiklin, tubuh bisa menjadi lebih sensitif terhadap cahaya. Efek sampingnya bisa membuat cahaya tampak lebih terang pada mata.
Kondisi tersebut juga bisa membuat kulit lebih rentan terbakar sinar matahari. Untungnya, fotosensitivitas akan hilang setelah selesai minum antibiotik.
4. Infeksi Jamur pada Vagina
Penggunaan antibiotik dapat menurunkan jumlah bakteri bermanfaat (lactobacillus) dalam vagina. ‘Bakteri baik’ ini membantu mencegah pertumbuhan jamur alami yang bernama Candida. Ketika keseimbangan alami ini mendukung pertumbuhan Candida, efek samping antibiotik ini bisa terjadi.
Berikut ini gejala infeksi jamur pada vagina:
- Vagina gatal.
- Vagina membengkak.
- Sensasi terbakar saat buang air kecil atau melakukan hubungan seksual.
- Nyeri saat berhubungan seksual.
- Ruam.
- Kemerahan.
- Keluarnya cairan berwarna abu-abu keputihan dan menggumpal dari vagina.
5. Perubahan Warna Gigi
Antibiotik seperti tetrasiklin dan doksisiklin dapat meninggalkan noda permanen pada gigi anak yang giginya masih berkembang. Efek samping ini kebanyakan terjadi pada anak-anak berusia 8 tahun ke bawah.
Jika ibu hamil menggunakan antibiotik, obat tersebut dapat menodai gigi sulung bayi yang sedang berkembang.
6. Kolitis yang Diinduksi Clostridium Difficile
Clostridium difficile (C. difficile) adalah jenis bakteri yang menginfeksi usus besar. Ini juga menyebabkan kolitis yang diinduksi Clostridium difficile, infeksi yang menyebabkan radang usus dan diare parah.
Kolitis yang diinduksi C. difficile sulit diobati karena bakteri resisten terhadap sebagian besar antibiotik. Kasus kolitis yang diinduksi C. difficile yang parah, kronis, atau tidak diobati dapat menyebabkan kematian.
Siapa pun yang khawatir tentang berkembangnya infeksi resisten antimikroba saat minum antibiotik harus segera berkonsultasi dengan dokter.
7. Reaksi Alergi
Efek samping antibiotik juga dapat menimbulkan reaksi alergi. Beberapa reaksi alergi bisa ringan, tetapi yang lainnya bisa serius dan membutuhkan perhatian medis.
Jika alergi terhadap antibiotik tertentu, Anda akan mengalami gejala segera setelah mengonsumsi obat. Beberapa gejala ini bisa berupa sesak napas, gatal-gatal, dan pembengkakan pada lidah dan tenggorokan.
8. Reaksi Darah
Beberapa antibiotik dapat menyebabkan perubahan pada darah. Misalnya, leukopenia adalah penurunan jumlah sel darah putih yang dapat menyebabkan peningkatan infeksi.
Perubahan lainnya adalah trombositopenia, merupakan kadar trombosit yang rendah. Kondisi ini dapat menyebabkan perdarahan, memar, dan pembekuan darah yang lambat. Obat yang menyebabkan efek samping ini lebih sering adalah antibiotik beta-laktam dan sulfametoksazol.
9. Tendonitis
Tendonitis adalah peradangan atau iritasi pada tendon. Tendon adalah jaringan tebal yang menempelkan tulang ke otot, ini terdapat dalam seluruh tubuh.
Antibiotik (termasuk ciprofloxacin) dapat menyebabkan tendonitis atau ruptur tendon. Ini adalah kondisi ketika tendon robek.
Siapa pun berisiko mengalami masalah tendon saat mengonsumsi antibiotik tertentu. Namun, orang-orang tertentu berisiko lebih tinggi mengalami ruptur tendon, termasuk:
- Memiliki gagal ginjal.
- Pernah menjalani transplantasi ginjal, jantung, atau paru-paru.
- Pernah mengalami masalah tendon sebelumnya.
- Sedang menggunakan steroid.
- Berusia 60 tahun ke atas.
10. Kejang
Meskipun antibiotik jarang menyebabkan kejang, tetapi kondisi ini bisa terjadi. Kejang lebih sering terjadi setelah mengonsumsi antibiotik ciprofloxacin, imipenem, dan cephalosporin seperti cefixime dan cephalexin.
11. Masalah jantung
Dalam kasus yang jarang terjadi, efek samping antibiotik tertentu menyebabkan masalah jantung seperti detak jantung tidak teratur atau tekanan darah rendah (hipotensi).
Antibiotik yang paling sering terkait dengan efek samping ini adalah erythromycin dan beberapa fluoroquinolon seperti ciprofloxacin. Terbinafine antijamur juga dapat menyebabkan masalah jantung.
12. Sindrom Stevens-Johnson
Sindrom Stevens-Johnson adalah reaksi yang dapat terjadi dengan obat apa pun, termasuk antibiotik. Kondisi ini lebih sering terjadi dengan beta-laktam dan sulfametoksazol.
Sindrom Stevens-Johnson adalah kelainan kulit dan selaput lendir yang jarang terjadi, tetapi tergolong serius. Selaput lendir adalah lapisan lembap pada beberapa bagian tubuh, termasuk hidung, mulut, tenggorokan, dan paru-paru.
Sindrom Stevens-Johnson biasanya mulai dengan gejala mirip flu, seperti demam atau sakit tenggorokan. Gejala sindrom Stevens-Johnson bisa diikuti dengan melepuh dan ruam yang menyebar, serta lapisan atas kulit terkelupas.
Gejala lainnya adalah gatal-gatal, sakit kulit, demam, batuk, pembengkakan wajah atau lidah, dan sakit pada mulut dan tenggorokan.
13. Gagal Ginjal
Antibiotik dapat membebani dan merusak ginjal pada penderita gangguan ginja. Ginjal berfungsi untuk mengeluarkan racun (termasuk obat-obatan) dari darah dan tubuh melalui urine.
Seiring bertambahnya usia, ginjal juga secara alami menjadi kurang efektif. Biasanya, dokter akan meresepkan orang tua atau orang dengan kondisi ginjal dengan dosis antibiotik yang lebih rendah untuk memulai pengobatan.
Kapan Harus Ke Dokter?
Siapa pun yang mengalami efek samping atau reaksi yang reaksi berat dalam bentuk apa pun terhadap antibiotik harus segera berhenti minum obat dan mencari pertolongan medis.
Orang yang mengalami efek samping ketidaknyamanan juga harus berkonsultasi dengan dokter tentang gejala yang dirasakan.
- Anonim. 2019. Side effects Antibiotics. https://www.nhs.uk/conditions/antibiotics/side-effects/. (Diakses pada 15 oktober 2020)
- Huizen, Jennifer. 2018. What are the side effects of antibiotics?. https://www.medicalnewstoday.com/articles/322850. (Diakses pada 15 oktober 2020)
- University of Illinois. 2019. Side Effects of Antibiotics: What They Are and How to Manage Them. https://www.healthline.com/health/infection/antibiotic-side-effects#serious-side-effects. (Diakses pada 15 oktober 2020)