Kelahiran buah hati adalah suatu kebahagiaan, namun bagi beberapa wanita kebahagiaan itu tidak berjalan mulus. Setelah menjalani proses persalinan, pulang ke rumah, mengurus bayi, dan berhadapan dengan suami, perasaan seorang ibu kepada anaknya bisa berubah total. Di dalam dunia medis kondisi ini dikenal dengan depresi postpartum atau baby blues.
Faktor Pemicu Baby Blues Syndrome
Selain perasaan bahagia yang menyelimuti ibu, faktanya kelahiran juga bisa memicu percampuran emosi yang kuat, mulai dari kegembiraan menjadi ketakutan, kecemasan, hingga depresi. Baby blues biasanya dimulai dalam dua hingga tiga hari pertama setelah melahirkan dan dapat berlangsung hingga dua minggu.
Elva Saragih, seorang ibu beranak satu yang pernah mengalami baby blues dan sempat terlintas di pikirannya untuk menyakiti sang buah hati. Meski pengetahuan soal kehamilan dan pasca melahirkan sudah dipersiapkan demi menyambut sang anak, ia tidak menyangka bahwa gejala baby blues menimpa dirinya.
“Gue cuma tahu baby blues itu bisa terjadi, bisa melow sendiri, tapi gue gak pernah ngalamin kan, jadi cuma tahu aja,” ujarnya pada Doktersehat.com
Elva mengungkapkan, penyebab baby blues syndrome yang dialaminya dipicu oleh minimnya dukungan dari orang-orang terdekat dalam membantu menyelesaikan berbagai pekerjaan rumah atau pemulihan pasca persalinan.
“Begitu baru lahir—keluar rumah sakit, gue tuh enggak ketemu Ruud (suami) dan beda rumah sama Ruud karena Ruud sakit, terus gue di rumah nenek gue sampe 2 minggu terus gue balik ke rumah, tapi Ruud masih terus kerja dan gue enggak punya pembantu dan nyokap gue belum ada waktu itu,” ungkapnya.
Keinginan untuk Menyakiti Anak
Kegiatan mengurus semua pekerjaan rumah dan bayi sendiri tanpa bantuan orang lain mengakibatkan kondisi fisik dan mentalnya semakin menurun. Hal inilah yang membuat Elva memiliki keinginan untuk menyakiti buah hatinya.
“Baru ngelahirin masih harus ngurus anak, semuanya ‘kan dilakukan sendiri, nih. Nyuci botol, popok, baju, semuanya sendiri—gue agak idealis gue mau jaga anak gue sendiri karena anak pertama dan dapetnya juga susah, ternyata berbuah gue terlalu letih dan gue merasa sendiri tidak ada tim,” tuturnya.
Saat baby blues syndrome menyerang, Elva mengaku kebingungan dengan kondisi yang dialaminya.
“Akumulasi dari kesabaran gue yang kemarin kemarin, kayaknya gue burnout. Pas lagi gendong anak gue yang nangis terus enggak berhenti-berhenti—tiba-tiba di otak gue terlintas gue pengen banting anak gue…(saat itu) gue langsung kaget, langsung gue taro anak gue di kasur, gue panik, kenapa gue?,” katanya.
“Terus gue nangis, terus langsung teriakin Ruud, ‘Rud rud tolong gue mau banting anak gue’,” imbuhnya.
Sayangnya, saat Elva sudah menyadari keanehan yang terjadi pada perasaannya, sang suami justru tidak menyadari gejala baby blues. Suami justru mengganggap hal tersebut sebagai sesuatu di luar medis.
“Gue disuruh berdoa, dikira kesambet segala macem, akhirnya gue langsung whatsapp dokter gue. Kata dokter, gue baby blues,” keluhnya.
Guna menyiasati perasaan ingin menjatuhkan anaknya terulang kembali, Elva tidak tinggal satu rumah dengan anaknya selama beberapa hari dan meminta orang lain untuk membantu mengurus anaknya.
“Akhirnya gue cuma bisa cium-cium, nangis-nangis ngeliat anak gue doang dan itu (baby blues syndrome) bener-bener rasanya aneh dan riil banget,” katanya.
Perlu diketahui, pada umumnya gejala depresi postpartum hanya berlangsung beberapa hari hingga satu atau dua minggu setelah melahirkan. Beberapa gejala baby blues terdiri dari:
- Perubahan suasana hati.
- Kegelisahan.
- Kesedihan.
- Cepat marah.
- Merasa kewalahan.
- Menangis.
- Menurunnya konsentrasi.
- Masalah nafsu makan.
- Sulit tidur.
Peran Suami dalam Mengatasi Baby Blues Syndrome
Menurut dr. Jati Satriyo, jika seorang ibu sudah didiagnosis mengalami baby blues syndrome, maka langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengomunikasikan masalah ini dengan pasangan.
“Ibu dapat mencoba untuk meluangkan waktu beristirahat dan bersantai, cobalah untuk tidur sebanyak mungkin (tidur siang dapat membantu), ibu bisa menolak untuk dikunjungi (karena pengunjung/penjenguk yang banyak dapat melelahkan),” kata dr. Jati Satriyo.
Jika cara ini tidak membantu, dr. Jati Satriyo menyarankan ibu untuk menemui psikiater atau psikolog, terlebih lagi jika adanya keinginan untuk bunuh diri atau menyakiti anak.
Menurut dr. Jati, seorang ibu yang rentan mengalami baby blues syndrome adalah yang mengalami gangguan kombinasi fisik dan emosional. Beberapa faktor yang dapat memicu baby blues, antara lain:
- Pernah menderita depresi sebelum atau selama kehamilan.
- Menderita gangguan bipolar.
- Mempunyai anggota keluarga yang menderita depresi.
- Kesulitan untuk menyusui anak.
- Hamil di usia muda
- Memiliki banyak anak.
- Mengalami kejadian stres pada saat baru melahirkan (seperti masalah keuangan, kehilangan pekerjaan, terlibat dalam konflik keluarga).
Dokter Jati menyarankan, guna meningkatkan hubungan antara ibu dan anak pasca baby blues syndrome adalah dengan selalu merespons serta konsisten terhadap kebutuhan fisik dan emosional bayi. Jika perlu, abaikan pekerjaan rumah sementara waktu dan prioritaskan waktu untuk diri sendiri dan bayi.
“Ajak pasangan untuk membantu ibu mengasuh bayi agar dapat menjadi tim yang kuat,” katanya.
Jika suami sudah mengetahui bahwa istrinya mengalami baby blues syndrome, maka peran suami yang paling utama adalah mengajak istri bicara untuk berbagi perasaan dan mendukungnya secara emosional.