DokterSehat.Com – Cacingan adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh infeksi cacing guinea (Dracunculus medinensis), parasit terbesar yang diketahui menyerang manusia. Penyakit cacing Guinea juga disebut Dracunculiasis.
Meski sering dianggap angin lalu, penyakit akibat diserapnya makanan oleh cacing di dalam tubuh sebaiknya tidak diremehkan. Dampaknya bagi si penderita ternyata tak kalah berbahaya ketimbang penyakit lain. Apalagi, yang jadi korban kebanyakan adalah anak-anak.
“Khususnya anak usia dua tahun ke atas yang mulai bermain di lantai atau tanah. Nah, tanahnya itu sudah tercemar (soiled), terutama oleh kotoran manusia,” kata dr Adi Tagor SpA DPH dari RS Pondok Indah Jakarta.
Penyebab cacingan
Cacingan merupakan penyakit khas daerah tropis dan sub-tropis, dan biasanya meningkat ketika musim hujan. Pada saat tersebut, sungai dan kakus meluap, dan larva cacing menyebar ke berbagai sudut yang sangat mungkin bersentuhan dan masuk ke dalam tubuh manusia. Larva cacing yang masuk ke dalam tubuh perlu waktu 1-3 minggu untuk berkembang. Cacing yang biasa “menyerbu” tubuh manusia adalah cacing tambang, cacing gelang, dan cacing kremi.
“Daerah di mana sanitasi lingkungan masih buruk, seperti Indonesia, hampir 90 persen anak-anaknya pasti terkena cacingan,” lanjut Adi.
Di Indonesia seharusnya tidak lagi menggunakan septictank untuk keperluan buang air besar. “Khususnya di Jakarta, karena daerahnya sangat padat, seharusnya tinja langsung dibuang ke tempat penampungan, seperti di Singapura.”
Ketika seorang anak yang cacingan buang air besar di lantai, maka telur atau sporanya bisa tahan berhari-hari, meskipun sudah dipel. “Sebelum dapat rumah, larva tidak akan keluar (menetas). Begitu masuk ke usus, baru ia akan keluar.”
Selain melalui makanan yang tercemar oleh larva, cacing juga masuk ke tubuh manusia melalui pori-pori kulit. Dari tanah, misalnya lewat kaki anak telanjang yang menginjak larva atau telur. Bisa juga larva cacing masuk melalui pori-pori, yang biasanya ditandai dengan munculnya rasa gatal.
“Setelah menembus kulit, ia masuk ke pembuluh darah vena (balik), lalu menuju paru-paru. Nah, di paru-paru inilah muncul Sindroma Loffler. Anak jadi batuk seperti TBC, berdahak seperti asma. Ini termasuk ke dalam siklus perjalanan cacing.”
Setelah itu, cacing menggigit dinding usus bertelur dengan cepat di usus. “Di usus inilah makanan dipecah menjadi nutrient (zat gizi elementer yang sudah bisa diserap oleh usus). Ini yang “dibajak” oleh cacing. Jadi, cacing itu memang berdomisili di usus, karena ia tidak bisa mencernakan sendiri makanan. Ia harus makan yang sudah setengah cerna.” Selain siklus normal, cacing juga bisa menyebar ke tempat-tempat lain, seperti hati atau bagian tubuh lain.
Dampak Cacingan
Dampak cacingan ternyata tidak sepele. Dari pertumbuhan fisik yang terhambat, hingga IQ loss. Dampak yang paling banyak adalah anemia atau kadar hemoglobin (Hb) rendah. Jadi Hb sangat vital bagi manusia.
“Fungsinya seperti alat angkut, seperti truk, yang membawa oksigen dan makanan dari usus ke seluruh organ tubuh,” jelas Adi yang mengibaratkan fungsi kerja Hb seperti Bulog yang mengantar beras. “Kalau truk-nya sedikit, ya kiriman berasnya akan telat. Begitu pun pada orang yang anemia. Suplai oksigen dan nutrient ke otak sedikit, ke ginjal sedikit.”
Padahal, seorang anak yang sedang tumbuh membutuhkan banyak nutrient. “Nutrisi itu dibagi dua, yaitu makro nutrient (karbohidrat, lemak, protein, air) dan mikro nutrient (vitamin dan mineral). Nah, ini yang ‘dibajak’. Jadi, yang gemuk cacingnya, bukan anaknya,” tandas Adi.
“Di dalam tubuh, cacing-cacing ini akan beranak lagi, lagi, dan lagi. Kadang-kadang, kalau menggumpal, bentuknya seperti bola. Bisa juga terjadi “erratic”, cacing keluar lewat hidung atau mulut,” sambungnya.
Anemia membuat anak gampang sakit karena tidak punya daya tahan. “Gimana mau sehat kalau zat-zat untuk membuat daya tahan, terutama protein, sudah dibajak di usus oleh cacing,” lanjutnya. Anak juga akan kehilangan berat badan, dan prestasi belajar menurun.
Cacingan Berakibat Fatal
Cacingan juga bisa berakibat fatal. “Bisa ke empedu, meski jarang, atau bikin usus bolong. Fatalnya memang tidak secara langsung, tapi karena fisiknya lemah, daya tahan turun, maka penyakit lain pun masuk. Nah, penyakit lain inilah yang bikin fatal.”
Gejala cacingan
Gejala cacingan biasanya ditandai dengan sakit perut, diare berulang, dan kembung. “Seringkali juga ada kolik yang tidak jelas dan berulang,” jelas Adi. Kalau sudah parah, “Muka anak akan tampak pucat dan badan kurus. Ini berarti sudah terjadi pemiskinan secara fisik,” lanjut dokter spesialis anak yang juga pemegang diploma kesehatan publik dari Singapura ini.
Kapan orangtua membawa anak ke dokter? Di daerah tropis dan sub-tropis, apalagi di daerah yang sanitasinya buruk, hampir semua anak pasti cacingan. Di daerah miskin, angka cacingan pada anak bahkan dipastikan bisa 100 persen.
“Jadi, nggak perlu diperiksa, pasti cacingan. Oleh karena itu, setiap enam bulan sekali pada masa usia tumbuh, yaitu usia 0 sampai sekitar usia 15 tahun, anak diberi obat cacing.” Jangka waktu enam bulan ini untuk memotong siklus kehidupan cacing.
Orang Dewasa Juga Bisa Cacingan
Menurut Adi Tagor, orang dewasa pun bisa cacingan. “Obat cacingnya untuk orang dewasa juga ada, tapi diberikan setahun sekali.” Yang membedakan cacingan pada anak dan pada dewasa adalah, anak-anak masih tumbuh dan berkembang, sementara orang dewasa sudah tidak lagi tumbuh dan berkembang. “Orang dewasa juga masih bisa survive, bisa melawan sendiri cacing yang ada.”
Yang harus dicermati adalah, kira-kira 60-80 persen penyakit yang terjadi pada usia dewasa dimulai di usia pertumbuhan. Misalnya, anemia kronis akibat cacingan. Ini akan membuat jumlah sel otak berkurang karena kekurangan nutrisi selama masa tumbuh kembang.
Akibatnya, ketika dewasa, kualitas fisik dan IQ orang tersebut tentu akan berkurang juga. Contoh lain, ketika kecil terkena penyakit infeksi yang tidak ketahuan. “Setelah dewasa sakit ginjal, dan sebagainya.”
Tips Menghindari Cacingan
- Biasakan anak untuk membersihkan tangan dengan sabun, sebelum makan, seusai makan, atau setelah bermain, khususnya di luar rumah.
- Potong kuku anak secara teratur. Kuku panjang bisa menjadi tempat bermukim larva cacing.
- Ajari anak untuk tidak terbiasa memasukkan tangan ke dalam mulutnya. Selalu pakaikan sandal atau sepatu setiap kali anak bermain di luar rumah.
- Jaga kebersihan sanitasi lingkungan, misalnya dengan rajin membersihkan kakus atau septictank.
Jenis-Jenis Cacing
Menurut penelitian, dr Adi Sasongko MA, Direktur Pelayanan Kesehatan di Yayasan Kusuma Buana menyatakan ada 3 jenis cacing yang sering ditemukan dalam usus manusia, yaitu cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura), dan cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus).
Tanpa kita sadari, telur cacing gelang dan cambuk sebenarnya ada di mana-mana. Di udara, telur cacing yang berbahaya ini bercampur dengan debu, lalu diterbangkan angin. Telur cacing ini bisa hinggap pada makanan atau minuman yang dibiarkan terbuka. “Jika makanan dan minuman itu dikonsumsi, maka ikut pula telur cacing tersebut. Dalam usus telur ini berkembang menjadi larva, untuk kemudian menjadi cacing dewasa.”
Setiap cacing memiliki ciri-ciri spesifik sebagai berikut:
1. Cacing gelang
Warna: Merah muda atau putih
Ukuran: 20-30 cm
Hidup di: Usus kecil
Cara penularannya:
- Telur cacing masuk melalui mulut
- Menetas di usus kecil menjadi larva
- Larva dibawa oleh aliran darah ke paru-paru melalui hati
- Bila larva ini sampai ke tenggorokan dan tertelan, mereka masuk ke dalam usus kecil dan menjadi dewasa. Cacing gelang dapat mengisap 0,14 gr karbohidrat setiap hari
Cacing gelang bisa mencapai panjang 15-35 cm. Saat berada dalam perut manusia, cacing ini juga mampu bertelur hingga 200.000 butir per hari, yang sebagian keluar bersama dengan tinja. Cacing ini adalah cacing yang paling sering ditemukan dalam perut manusia.
2. Cacing cambuk
Warna: Merah muda atau abu-abu
Ukuran: 3-5 cm
Hidup di: Usus besar
Cara penularannya:
- Telur cacing tertelan bersama dengan air atau makanan
- Menetas di usus kecil dan tinggal di usus besar
- Telur cacing keluar melalui kotoran dan jika telur ini tertelan, terulanglah siklus ini
Sementara cacing cambuk (disebut begitu karena bentuknya seperti cambuk), panjangnya bisa mencapai 45 milimeter dan hidup dalam usus besar. Cacing ini, bila tinggal di dalam perut, bisa sangat merepotkan. Cacing ini bisa menyebabkan diare berlendir dan disertai darah. Keadaan ini bisa berlangsung sampai berbulan-bulan. Cacing cambuk menghisap sari makanan dan darah dari usus besar manusia.
3. Cacing tambang
Warna: Merah
Ukuran: 8-13 mm
Hidup di: Usus kecil
Cara penularannya:
- Larva menembus kulit kaki
- Melalui saluran darah larva dibawa ke paru-paru yang menyebabkan batuk
- Larva yang ditelan menjadi dewasa pada usus kecil dimana mereka menancapkan dirinya untuk mengisap darah
Lebih ganas lagi adalah cacing tambang. Cacing ini menghisap darah dari dinding usus. Penularan cacing ini melalui telur yang keluar bersama tinja, untuk kemudian menetas menjadi larva. Pada saat berjalan tanpa alas kaki, larva ini dapat menembus kulit kaki dan selanjutnya terbawa oleh pembuluh darah ke dalam usus dan menetap di usus halus. Ukuran cacing ini paling kecil bila dibandingkan kedua cacing lainnya, hanya dapat mencapai 13 milimeter.
4. Cacing kremi
Warna: Putih
Ukuran: 1 cm
Hidup di: Usus besar
Cara penularannya:
- Cacing betina bertelur pada malam hari di anus.
- Anus menjadi gatal, garukan pada anus membawa telur cacing ini menyebar. Melalui kontak dengan tempat tidur, bantal, sprei, pakaian, telur cacing kremi dibawa ke tempat lain.
- Jika telur-telur ini termakan, terulangnglah siklus ini.
Cacing kremi mudah sekali menular dan jika seorang terkena, seluruh keluarga perlu diobati. Pada saat pengobatan, sprei, sarung bantal dan pakaian yang dipakai perlu dicuci.
Jangan Asal Minum Obat
Sayangnya, kata Adi, masyarakat kerap salah paham. Banyak yang menganggap, kalau sudah makan obat cacing yang banyak dijual di pasaran, maka semua cacing dalam perut akan mati. Dengan demikian, tubuh pun akan bebas dari cacing. “Pada kemasan obat anti-cacing umumnya tertulis, untuk menghindari cacingan, diharuskan minum obat itu sebanyak dua sampai tiga kali dalam setahun. Sebenarnya membuat aturan seperti itu tidak dibenarkan.
Minum obat cacing sifatnya hanya membuang cacing dari dalam tubuh, tapi tidak membuat tubuh kebal terhadap cacing,” ujar Adi lagi. Menurut Adi, meminum obat cacing bukanlah solusi untuk menghilangkan cacing. Cacing memang hilang, tapi hanya sementara waktu. Pada kesempatan lain ia akan berbiak lagi.
“Bila seseorang menderita cacingan, disarankan untuk melakukan pemeriksaan di laboratorium, setelah sebelumnya memeriksakan diri ke dokter umum atau puskesmas. Tinja pasien akan diperiksa, untuk mengetahui jenis cacing apa yang menyerang orang tersebut,” ujarnya lagi.
Bila jenis cacing yang tinggal di dalam perut sudah diketahui, dokter akan memberikan obat cacing yang tepat. Dosisnya pun akan disesuaikan dengan berat badan pasien. Dan yang lebih penting lagi, tubuh pasien akan kebal terhadap serangan jenis cacing tersebut. Adi menyarankan pemeriksaan laboratorium ini dilakukan enam bulan sekali. “Tapi pengobatan secara laboratoris itu harus pula diimbangi menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Kalau tidak, cacing itu akan kembali menyerang,” kata Adi.