Terbit: 18 October 2016 | Diperbarui: 23 November 2022
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com – Setelah menjadi kontroversi dalam beberapa waktu yang lalu, baru-baru ini Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia telah menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tentang 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 23 atahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perppu yang dikenal sebagau Perppu Kebiri ini pada akhirnya benar-benar dijadikan sebagai undang-undang (UU) dan mengatur hukuman yang lebih berat secara pidana atau pidana tambahan bagi para pelaku kekerasan seksual pada anak dan juga pencabulan.

Kebiri Kimia Benar-Benar Dijadikan UU Oleh Pemerintah

Dalam UU ini, pelaku kekerasan atau pencabulan bisa saja dikenai hukuman mati, hukuman seumur hidup, hingga kurungan penjara dalam waktu yang lama. Selain itu, ada pula tambahan hukuman berupa identitasnya yang diumumkan ke publik, pemasangan chip pada tubuh, dan juga kebiri kimia. Kebiri kimia inilah yang menjadi hal yang kontroversial, khususnya bagi dokter, mengingat sumpah dokter seharusnya membuat mereka mengobati seseorang, bukannya membuat orang menjadi sakit.

Pakar kesehatan spesialis andrologi dari Surabaya bernama Johannes Soedjono menyebutkan jika sebagian dokter masih tidak menyetujui adanya hukuman kebiri kimia ini. Memang, dokter bisa saja menyanggupi suntikan antihormon yang bisa menekan hormon testosteron pada pria, namun, suntikan ini biasanya dilakukan karena permintaan pasien yang memiliki gangguan seksual layaknya hipersex dan lain sebagainya. Bahkan, tak cukup hanya permintaan pribadi dari pasien, harus ada keterangan dari terapi seksual atau psikolog yang merekomendasikan suntikan ini. Karena alasan inilah, suntikan antihormon yang dijadikan hukuman kebiri yang pada akhirnya merusak atau membuat menderita seseorang menjadi hal yang kontroversial bagi para dokter.

Hanya saja, dr. Johannes menyebutkan jika andai pelaku kejahatan seksual kesulitan mengendalikan hasrat seksual dan meminta untuk diobati untuk mengendalikan hasratnya ini, maka barulah dokter akan memberikan suntikan ini. Namun, tetap saja harus ada catatan berupa pelaku sudah melakukan terapi psikologis terlebih dahulu.

Menurut beliau, para dokter bukannya tidak mau mentaati UU yang sudah ditetapkan, namun, ada ikatan etika kedokteran yang ditaati oleh para dokter akan hal ini. Mereka pun memilih untuk menunggu sikap dari IDI apakah akan menuruti UU yang sudah ada atau menolak proses kebiri kimia sebelum bertindak.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi