Terbit: 4 March 2022
Ditulis oleh: Wulan Anugrah | Ditinjau oleh: dr. Ursula Penny Putrikrislia

Setiap orang tua tentu menginginkan hal-hal terbaik untuk anaknya. Tak jarang, untuk memastikan urusan anak berjalan lancar, orang tua terkesan ‘melindungi’ anak secara berlebihan. Pola asuh ini dikenal dengan helicopter parenting. Apa itu helicopter parenting? Ketahui seputar pola asuh ini melalui ulasan berikut.

Mengenal Helicopter Parenting dan Dampaknya bagi Anak

Apa itu Helicopter Parenting?

Helicopter parenting adalah pola asuh yang menggambarkan sikap orang tua menjaga anak secara berlebihan. Pola asuh ini juga kerap disebut sebagai over-parenting.

Istilah helikopter dalam pola asuh pertama kali muncul dalam buku Parents & Teenagers karya Dr. Haim Ginott’s tahun 1969.

Dalam buku tersebut, para remaja mengumpamakan orang tua mereka seperti helikopter. Artinya, orang tua memantau gerak-gerik mereka selayaknya helikopter yang melayang di atas.

Pola asuh semacam ini dapat terjadi pada anak di usia berapa pun. Kendati demikian, kebanyakan kasus helicopter parenting terjadi pada anak-anak usia sekolah menengah atas atau perguruan tinggi.

Orang tua biasanya bereaksi secara berlebihan terhadap tugas-tugas yang anak dapatkan dari sekolah atau kampus mereka.

Sebagai contoh, ketika mendapati nilai anak yang turun, orang tua akan menghubungi guru atau dosen terkait nilai tersebut, dan menanyakan apakah masih ada kemungkinan untuk perbaikan nilai.

Selain itu, tak jarang orang tua akan melakukan tindakan-tindakan yang dianggap akan membantu anak, seperti mengelola kebiasaan olahraganya, mengatur asupan makanan sehari-hari, dan lain-lain.

Alasan Orang Tua Menerapkan Helicopter Parenting

Ada sejumlah alasan mengapa orang tua menerapkan pola asuh helikopter. Melansir Parenting, berikut ini adalah beberapa di antaranya:

  • Rasa cemas berlebih

Salah satu alasan penerapan helicopter parenting adalah adanya perasaan cemas yang dirasakan orang tua. Terdapat beberapa penyebab kecemasan ini muncul, seperti ekonomi, peluang kerja, dan sebagainya.

Rasa cemas akan membuat orang tua mengambil kendali. Para orang tua meyakini bahwa tindakan itu akan mencegah anak terluka atau merasa kecewa.

Hal tersebut dikemukakan oleh Carolyn Daitch, Ph.D., direktur Center for the Treatment of Anxiety Disorders sekaligus penulis buku Anxiety Disorders: The Go-To Guide.

  • Takut terhadap konsekuensi

Orang tua menganggap bahwa keterlibatannya akan menghindarkan anak-anak dari kegagalan. Oleh sebab itu, ketika anak menghadapi masalah sekecil apa pun, orang tua akan langsung mengatasinya.

  • Kompensasi berlebihan

Helicopter parenting ternyata berhubungan dengan pola asuh sebelumnya yang diterima oleh orang tua. Saat orang tua menerima perlakuan yang membuat mereka terabaikan atau tidak dicintai semasa kecil, mereka akan melimpahkan semuanya kepada anaknya kelak.

Pemantauan dan perhatian berlebihan kepada anak menjadi ajang memperbaiki kekurangan yang orang tua terima dari pola asuh sebelumnya.

  • Tekanan dari orang tua lain

Penyebab orang tua menerapkan helicopter parenting berikutnya adalah persaingan dengan orang tua lain.

Ketika melihat orang tua lain terlibat dalam urusan anak mereka, maka ibu dan ayah juga dapat terdorong untuk melakukan hal serupa.

Biasanya, ketika orang tua kurang terlibat terhadap urusan anak, mereka akan merasa bersalah. Nah, perasaan bersalah tersebut yang pada akhirnya membuat orang tua terkesan terlalu mengatur.

Baca JugaStrict Parents (Pola Asuh Ketat): Ciri-Ciri dan Dampak Buruk bagi Anak

Dampak Helicopter Parenting

Segala sesuatu yang berlebihan tentu tidak baik, termasuk soal pola asuh anak. Saat Anda cenderung mengatur dan ingin terlibat dalam urusan anak, ada sejumlah dampak buruk  yang mesti orang tua waspadai, di antaranya:

  • Sulit untuk memecahkan masalah

Keterampilan memecahkan masalah menjadi keterampilan penting yang harus anak pelajari. Anak dapat mempelajari problem-solving skills saat usia berapa pun, baik sejak berusia 5 tahun ataupun sudah berusia 25 tahun.

Pada pola asuh helikopter, orang tua kemungkinan menyelesaikan masalah anaknya dengan segera. 

Menurut sebuah studi dalam Journal of Child and Family Studies, orang tua yang menyelesaikan masalah anak di awal akan mencegah anak mempelajari cara memecahkan masalah yang cukup berharga.

  • Terus-menerus bergantung kepada orang tua

Dampak buruk lainnya dari helicopter parenting adalah munculnya ketergantungan anak pada orang tua.

Pada pola asuh ini, orang tua selalu mengusahakan segala sesuatu untuk anaknya. Dengan demikian, anak akan gagal belajar mandiri atau belajar mendapatkan sesuatu dengan usahanya sendiri.

  • Kepercayaan diri rendah

Pola asuh helikopter akan menyebabkan anak kurang percaya diri dengan kemampuannya sendiri. Hal ini karena kecenderungan orang tua terlibat dalam segala urusan mereka.

Ann Dunnewold, Ph. D., seorang psikolog dan penulis buku Even June Cleaver Would Forget the Juice Box, mengungkapkan, orang tua yang terlalu terlibat akan membuat anak berpikir; ‘orang tua saya tidak mempercayai saya untuk melakukan sendiri’.

Pada gilirannya, kondisi tersebut akan menyebabkan anak merasa kurang percaya diri.

  • Anak tidak bisa menerima kegagalan

Karena orang tua selalu ‘membereskan’ setiap masalah yang anak hadapi, maka anak cenderung terbiasa hidup tanpa masalah atau kegagalan.

Kondisi tersebut membuat anak tidak mengenal kecewa atau gagal dalam hidupnya. Pada akhirnya, anak akan kesulitan untuk menghadapi kegagalan.

Baca JugaMindful Parenting, Ini Prinsip dan Cara Penerapannya

  • Rasa cemas berlebih

Pola asuh helikopter berhubungan dengan rasa cemas pada anak. Sebuah studi menemukan bahwa over-parenting berhubungan dengan peningkatan risiko gangguan kecemasan dan depresi pada anak. Pola asuh ini berkaitan dengan berbagai gangguan kesehatan mental, termasuk gejala disforia, kecemasan sosial, dan kesejahteraan.

  • Life skill yang rendah

Life skill penting untuk mendukung manusia bertahan hidup. Sayangnya, helicopter parenting mencegah anak mempelajari ini.

Pola asuh semacam ini akan membuat orang tua terus-menerus membayangi anaknya. Anak pun cenderung tidak bisa melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang tua.

  • Mengganggu hubungan orang tua-anak

Bukannya mendapatkan hasil yang diharapkan, pola asuh helikopter justru dapat mengganggu hubungan orang tua dengan anak.

Jika orang tua terus-menerus memantau setiap gerak-gerik anak, atau mengomeli anak untuk menyelesaikan tugas tertentu, bukan tidak mungkin anak terdorong untuk menjauh.

Apa yang Harus Orang Tua Lakukan?

Apa yang seharusnya orang tua lakukan untuk mencegah pola asuh ini? Jika Anda cenderung mengembangkan helicopter parenting, beri ruang bagi anak untuk tumbuh, mempelajari hal baru, dan belajar bangkit dari kegagalan dengan usahanya sendiri.

Jika Anda memiliki pola asuh ini, tentu hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Anda pasti tidak rela membiarkan anak kesulitan.

Kendati demikian, Anda harus ingat bahwa dengan memberikan ruang bagi anak, Anda sedang membentuk karakter anak yang tangguh dan percaya diri.

 

  1. Bayless, Kate. 2019. What Is Helicopter Parenting? https://www.parents.com/parenting/better-parenting/what-is-helicopter-parenting/. (Diakses pada 4 Maret 2022).
  2. Kouros CD, dkk. 2016. Helicopter Parenting, Autonomy Support, and College Students’ Mental Health and Well-Being: The Moderating Role of Sex and Ethnicity. J Child Fam Stud. 2017;26:939-949. doi:10.1007/s10826-016-0614-3. Tersedia: https://link.springer.com/article/10.1007/s10826-016-0614-3. (Diakses pada 4 Maret 2022).
  3. Kuppens S, Ceulemans E. Parenting styles: a Closer Look At A Well-Known Concept. J Child Fam Stud. 2019;28(1):168-181. doi:10.1007/s10826-018-1242-x. Tersedia: https://link.springer.com/article/10.1007/s10826-018-1242-x. (Diakses pada 4 Maret 2022).
  4. Morin, Amy. 2020. What Is Helicopter Parenting? https://www.verywellfamily.com/helicopter-parents-do-they-help-or-hurt-kids-1095041. (Diakses pada 4 Maret 2022).
  5. Pamela. 2022. Helicopter Parents: Signs & Effects of Hovering. https://www.parentingforbrain.com/helicopter-parents/. (Diakses pada 4 Maret 2022).


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi