Terbit: 7 September 2018
Ditulis oleh: Gerardus Septian Kalis | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com – Julie Atkison anak berusia delapan tahun selalu meraih iPad nya sehabis mandi dan selalu membaca lewat perangkat iPadnya di tempat tidur. Kebiasaan orang tuanya yang selalu membacakan cerita untuknya jelang tidur—kini tidak dilakukan lagi, karena sang anak telah mengeksplorasi sendiri beberapa judul buku sesuai dengan keinginannya melalui iPad.

Membaca Lewat Perangkat Digital Turunkan Daya Kritis Anak

Belakangan, orang tua Julie melihat adanya suatu keanehan mengenai perbedaan antara membaca buku kertas dan membaca lewat perangkat elektronik.

Seperti dilansir dari kqed.org, menurut peneliti dari San Jose State University, Ziming Lu, kebiasan ‘membaca berbasis layar’ membuat seseorang membaca lebih cepat dan cenderung tidak membaca secara mendalam. Para peneliti juga mengatakan bahwa membaca dari layar elektronik dapat mengubah struktur otak.

 

Menurut pakar membaca, Maryanne Wolf, yang juga penulis buku Proust and the Squid, membaca secara digital bisa berdampak pada kemampuan seseorang untuk membaca secara mendalam.

Lantas, haruskah anak-anak membaca lebih banyak lewat buku kertas? Apakah aktivitas digital lainnya, seperti bermain video gim atau bermain aplikasi media sosial—memengaruhi  kemampuan anak untuk mencapai pemahaman yang mendalam saat membaca konten yang lebih panjang, seperti novel?

Paradoks Dunia Digital

Revolusi digital dan semua perangkat elektronik memiliki semacam paradoks. Hari ini sebagain besar anak-anak lebih banyak membaca melalui perangkat teknologi digital. Namun terkait hubungan membaca dan teknologi digital ternyata lebih rumit.

Meski begitu, ilmuwan kognitif Daniel T. Willingham mengatakan, perangkat digital tidak mengubah cara anak-anak membaca dalam hal proses kognitif yang sebenarnya—seperti menyusun kata-kata untuk membuat kalimat.

Bahkan, Willingham menunjukkan bahwa dalam istilah ‘raw words’ di mana anak-anak membaca lebih banyak daripada satu dekade yang lalu (sebagian besar berkat pesan teks). Namun dia percaya, seperti yang ditulisnya dalam bukunya, The Reading Mind: A Cognitive Approach to Understanding How the Mind Reads, bahwa kebiasaan membaca anak-anak telah berubah. Tentu, kebiasaan tersebut berubah akibat perkembangan teknologi digital.

“Membaca digital itu baik dalam beberapa hal, dan buruk pada beberapa hal lain,” katanya. Dengan kata lain, membaca digital itu adalah sesuatu yang kompleks.

Sebagian besar interaksi online yang melibatkan anak-anak termasuk membaca, di antaranya mengirim pesan teks, berselancar di media sosial, hingga bermain gim.

Lantas, apakah membaca online itu meningkatkan ‘pengetahuan kata’ atau pemaparan berulang atas kata-kata? Menurut Willingham, membaca online justru tidak banyak menambah kosakata karena pesan teks yang cenderung berulang-ulang.

Akan tetapi, apakah semua pembacaan teks dan perilaku di media sosial akan membuat pembaca anak-anak menjadi lebih baik?

“Mungkin tidak,” katanya. “Berdasarkan teori, itu tidak akan memengaruhi pemahaman bacaan sama sekali. Lagi pula, mereka tidak membaca artikel New York Times di Instagram. Mereka kebanyakan mengambil foto narsis dan memposting komentar,” tuturnya.

Meluangkan waktu untuk mengalami frekuensi yang lebih lambat dan kesenangan membaca sangat penting bagi anak-anak. Oleh karena itu, Willingham mendukung pembatasan waktu membaca melalui gawai agar anak-anak menemukan kesenangan membaca lewat buku. Katanya, anak-anak harus mengalami kepuasan membaca setelah menamatkan halaman terakhir dari sebuah buku.

Membaca dan Kaitannya Memahami Sebuah Peristiwa

Menurut Julie Coiro, seorang periset di University of Rhode Island, membaca lewat perangkat digital akan mempersulit seorang anak untuk memproses sebuah pemahaman baru. Ironisnya, semakin banyak anak-anak membaca secara digital, terutama untuk tugas sekolah.

Coiro telah mempelajari bagaimana otak anak-anak harus menyesuaikan dengan hal ini. Penelitian yang dilakukan pada siswa sekolah menengah dan atas serta mahasiswa menunjukkan, bahwa membaca online membutuhkan lebih banyak konsentrasi daripada membaca buku kertas.

Setiap tindakan yang dilakukan siswa secara online menawarkan banyak pilihan, membutuhkan pengaturan diri yang luar biasa untuk menemukan dan memahami informasi yang diperlukan.

Setiap kali seorang siswa membaca konten online, kata Coiro, mereka dihadapkan pada informasi dan keputusan yang hampir tak terbatas, termasuk gambar, video, dan beberapa hyperlink yang mengarah ke lebih banyak informasi.

 

Saat anak-anak menjelajah berbagai laman, mereka harus selalu bertanya pada diri sendiri: apakah ini informasi yang saya cari? Bagaimana jika saya mengklik salah satu dari banyak tautan, apakah itu akan membuat saya lebih dekat atau lebih jauh dari apa yang saya butuhkan?

Menurut Coiro, semua proses itu tidak terjadi secara otomatis, namun otak tetap harus bekerja untuk membuat setiap pilihan adalah baik.

Lewat salah satu penelitannya tentang siswa sekolah menengah, Coiro menemukan bahwa mereka yang terbiasa membaca buku belum tentu menjadi pembaca online yang baik. Ia menyarankan, agar daya kritis anak terasah, mereka harus dibiasakan membaca buku fisik.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi