Terbit: 4 April 2018
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com- Masih banyak anggapan yang beredar di masyarakat bahwa autisme adalah penyakit kejiwaan, sehingga umumnya masyarakat akan mengucilkan anak yang memiliki gangguan autisme. Autisme sebenarnya adalah gangguan yang disebabkan oleh kelainan cara kerja otak yang menyebabkan gangguan pada kemampuan anak dalam berkomunikasi. Namun penelitian terbaru menyebutkan bahwa autisme bukan murni karena kelainan pada otak.

Autisme Ternyata Bukan Hanya Gangguan Otak

Autisme bukan sepenuhnya gangguan otak

Hingga kini masih banyak penelitian terkait dengan autisme, mulai dari penyebab, pencegahan, hingga terapi untuk mengatasi anak autisme. Dilansir dari Science Alert, Sebuah penelitian yang dilakukan oleh David Ginty dari Harvard Medical School menemukan bahwa gangguan spektrum autisme bukan hanya karena kelainan perkembangan otak, namun juga respon saraf yang tidak bekerja dengan baik.

David melakukan penelitian pada tikus dan melihat beberapa mutasi genetik yang umumnya ditemukan pada anak dengan autisme. Ketika mengamati perkembangan tikus dengan mutasi genetik tersebut, peneliti menyadari bahwa mereka tidak bisa menggunakan indra peraba untuk mengarahkan obyek yang berbeda, dan juga para tikus memiliki respon yang berbeda pada hembusan udara yang ditiupkan di tengkuk mereka. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tikus yang mengalami mutasi genetik memiliki respon yang berbeda dari tikus pada umumnya.

Penelitian selanjutnya mengamati bagaimana tikus tersebut memengaruhi hubungan sosial di antara sesama tikus. Hasilnya mereka menemukan bahwa tikus yang bermutasi memiliki kecemasan lebih tinggi dibanding tikus lainnya. Para peneliti menyimpulkan bahwa kecemasan ini dapat berasal dari perubahan respon tikus pada sentuhan.

David menarik kesimpulan bahwa gangguan somatosensori dan taktil dapat memengaruhi perilaku yang buruk pada anak, sesuatu yang jarang disinggung karena penelitian autisme lebih banyak fokus pada gangguan otak. Namun untuk menguatkan penelitian tersebut diperlukan replikasi penelitian ini pada manusia agar dapat merumuskan pengobatan atau terapi yang tepat.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi