Terbit: 21 November 2019 | Diperbarui: 22 November 2019
Ditulis oleh: Gerardus Septian Kalis | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com – Sebuah survei yang dilakukan oleh Reckitt Benckiser—produsen perlengkapan rumah tangga, kesehatan, dan pribadi mengungkapkan bahwa terdapat aspek tabu dan stigma yang masih menjadi tantangan terbesar di kalangan anak muda, orang tua, dan pasangan yang sudah menikah—saat membicarakan kesehatan reproduksi dan edukasi seksual.

Menghilangkan Tabu dan Stigma Mengenai Edukasi Seksual

Menormalisasi Perbincangan Seksual

Hasil survei tersebut mengatakan bahwa terdapat sejumlah miskonsepsi pada penyakit menular seksual (PMS), khususnya HIV/AIDS. Lebih dari 50 persen responden (anak muda, orang tua, dan pasangan yang sudah menikah) masih memercayai bahwa ciuman bisa menularkan penyakit HIV/AIDS.

Beberapa topik yang jarang didiskusikan oleh ketiga responden tersebut meliputi:

  • Topik pernikahan di bawah 20 tahun termasuk risiko kesehatannya hanya dibicarakan oleh 38 % responden remaja dan 20 % responden orang tua.
  • Adanya tantangan komunikasi antara orang tua dengan anak yang diperlihatkan oleh 61 % responden anak muda takut merasa dihakimi oleh orang tua. Sedangkan 59 % orang tua merasa khawatir jika mendiskusikan edukasi seksual seolah mengajarkan hubungan seks pra-nikah.
  • Sedangkan topik penyakit menular seksual termasuk cara pencegahannya hanya dibicarakan oleh 35 % responden pasangan menikah.

Menurut dr. Helena Rahayu Wonoadi, Direktur CSR Reckitt Benckiser Indonesia, hasil survei yang dilakukan secara online terhadap 1.500 responden di beberapa kota besar mencakup beragam status ekonomi sosial dan keseimbangan jenis kelamin antara pria dan wanita.

“Penelitian ini memang dilakukan secara online—bekerja sama dengan JAKPAT, dan kami melakukan di lima kota besar, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan dengan sosio ekonomi status yang merata, baik yang upper, middle, maupun yang lower,” ujarnya saat ‘Peluncuran Hasil Survei Lengkap Eduka5eks oleh Durex RB Indonesia’ di Jakarta, Kamis (21/11/2019).

Melihat lebih dalam mengenai alasan mengapa ketiga profil responden enggan untuk mendiskusikan topik kesehatan reproduksi dan edukasi seksual, survei tersebut menemukan bahwa 57 persen responden remaja lebih terbuka untuk berbicara dengan teman sebaya perihal topik kesehatan reproduksi dan edukasi seksual.

Pada pasangan yang sudah menikah, alasan terbesar untuk tidak membicarakan topik tersebut adalah takut dihakimi oleh keluarga ketika berdiskusi tentang kesehatan seksual. Sejumlah kendala seperti di atas menjadikan kesehatan reproduksi dan edukasi seksual adalah sesuatu yang dianggap tabu dan stigma, apalagi tentang penyakit menular seksual yang masih dianggap negatif.

“(Topik) infeksi menular seksual setelah kita mendapatkan hasil survei ini ternyata belum terlalu dibicarakan (dan) paling jarang dibicarakan oleh ketiga responden,” kata dr. Helena Rahayu Wonoadi.

Selain ketakutan anak pada orang tua untuk membicarakan kesehatan seksual, dr Helena mengatakan, bahwa masalah yang sama juga dihadapi oleh orang tua dalam membicarakan edukasi seksual.

“Orang tua ternyata juga bimbang dalam menyampaikan topik seks, jadi ini kayaknya gayung bersambut, sementara anak-anaknya enggak mau takut dihakimi, orang tua pun juga galau (menyampaikan edukasi seks). Hampir 60 persen (orang tua) mengatakan tabu untuk berdiskusi dengan anaknya mengenai kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual,” jelasnya.

“Sedangkan 63 persen (orang tua) itu malah khawatir kalau memberi tahu (edukasi seks) seolah-olah orang tua memperbolehkan hubungan seksual pra-nikah. Nah, inilah problema kita, inilah wajah bagaimana edukasi seksual di Indonesia—dan 64 % tidak dapat menyampaikan dan mengomunikasikan pada anaknya, ini problem-problem yang dialami oleh orang tua, baik orang tua yang kekinian (dibawah 5 tahun menikah) maupun orang tua yang sudah menikah lebih dari 5 tahun,” imbuhnya.

Guna menormalisasi perbincangan seksual dalam konteks ilmiah namun dalam bahasa yang ringan, dr. Helene Rahayu Wonoadi menyarankan untuk melakukan Eduka5eks, yaitu lima langkah mudah untuk memahami pengetahuan tentang kesehatan seksual dan reproduksi.

Lima langkah tersebut, antara lain:

  1. Ayo Pahami. Sikap terbuka untuk memperoleh lebih banyak informasi tentang kesehatan seksual dan organ reproduksi.
  2. Mari Bicara. Berani untuk memulai percakapan.
  3. Saling Menghargai. Menghargai pendapat dan keputusan orang lain.
  4. Selalu Bertanggung Jawab. Bertanggung jawab atas diri sendiri, pasangan dan keluarga.
  5. Pemeriksaan Kesehatan. Mulai melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin.

Pentingnya Pengetahuan Edukasi Seksual

Menurut dr. Hanny Nilasari, SpKK. yang juga Ketua Umum Kelompok Studi Infeksi Menular Seksual Indonesia (KSIMSI), edukasi seksual bukanlah hal yang tabu untuk dibicarakan, pemahaman mengenai kesehatan seksual harus disebarkan pada banyak orang untuk mencetak generasi yang sehat. Bahkan, menurutnya edukasi seksual  bisa dimulai dari usia 3 sampai 5 tahun.

“IMS (infeksi menular seksual) adalah salah satu pintu masuk penularan HIV/AIDS. Selama ini usaha pencegahan telah dilakukan melalui kampanye dan edukasi pada populasi sehat terutama pada remaja. Menahan diri untuk tidak berisiko IMS merupakan hal wajib yang perlu digaungkan, agar bangsa Indonesia sehat dan menghasilkan generasi yang kuat,” kata dr. Hanny Nilasari.

Menurut dr. Hanny, dengan menerapkan Eduka5eks seseorang dapat mengetahui secara rinci kondisi kesehatan seksualnya.

“Karena sebetulnya sebagai seorang dokter saya memang harusnya begitu (melakukan Eduka5eks), jadi menginformasikan sedetail-detailnya, karena pada saat saya melakukan informasi itu pada pasien, tentunya waktunya terbatas,” kata dia.

“Tetapi dengan akses informasi yang saat ini begitu banyak, begitu luas, dan juga dibantu oleh RB (Reckitt Benckiser) dengan edukasinya ini, sehingga sangat membantu kami di profesi. Dan kemudian ujungnya sama-sama untuk medical check-up, bukan hanya medical check-up rutin tetapi juga medical check-up untuk yang terkait dengan kesehatan reproduksi,” imbuh dr. Hanny Nilasari.

Dokter Hanny berpandangan bahwa tindakan pencegahan jauh lebih baik daripada tindakan pengobatan. Hal inilah yang kemudian membuat Ketua Umum KSIMSI ini menjadikan pasangan yang akan menikah fokus pencegahan infeksi menular seksual.

“Karena dia (pasangan yang akan menikah) akan next step-nya dia akan hamil tentunya, dan hamil itu perlu dipersiapkan, bukan hanya pernikahannya saja yang perlu dipersiapkan tetapi kehamilannya itu juga perlu dipersiapkan. Artinya kesehatan secara fisik, mental dan kesehatan reproduksinya itu ada di dalamnya,” tuturnya.

Selain itu, dr. Hanny juga terus mengampanyekan untuk menghentikan stigma pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA). “Kita akan berkomitmen untuk hari AIDS sedunia pada tanggal 1 Desember. Stop stigma kemudian jauhi penyakitnya bukan orangnya, dan saya rasa ini adalah komitmen kita ‘tidak boleh melakukan seksual sebelum menikah,” jelasnya.


DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi