Terbit: 19 September 2019
Ditulis oleh: Redaksi DokterSehat | Ditinjau oleh: Tim Dokter

DokterSehat.Com- Garam adalah salah satu bumbu makanan yang paling sering kita gunakan saat memasak. Dengan adanya garam, rasa makanan akan menjadi lebih gurih dan nikmat. Ada sebagian orang yang menganggap masakan yang tidak diberi garam atau hanya diberi garam dalam jumlah yang sedikit akan terasa hambar. Melihat fakta ini, apakah garam memang bisa menyebabkan kecanduan?

Garam Bisa Bikin Kecanduan?

Garam Bisa Menyebabkan Kecanduan

Penelitian yang dilakukan oleh Craig Smith dari Florey Institute, Melbourne, Australia, menghasilkan fakta bahwa garam bisa mempengaruhi sistem penghargaan yang ada di dalam otak. Garam juga bisa mempengaruhi pusat emosi. Hasil dari peneitian ini dipublikasikan hasilnya dalam Proceedings of the National Academy of Sciences.

Sebagai informasi, sistem penghargaan yang ada di otak bisa mempengaruhi rasa puas, senang, sakit, dan kecanduan. Hormon yang mengendalikan sistem ini adalah hormon endorphin yang bisa aktif saat kita merasa kelaparan atau mengonsumsi sesuatu.

Smith mengondisikan tikus percobaan untuk mengonsumsi minuman bercampur garam. Setelah dicek aktivitas otaknya, dihasilkan fakta bahwa bagian amigdala otak yang memproses emosi mengalami perubahan. Hal ini kemudian mempengaruhi rasa dan keinginan untuk mengonsumsi garam di waktu-waktu lainnya.

Pakar kesehatan pun menyebut konsumsi garam bisa memberikan dampak layaknya konsumsi gula, rokok, atau alkohol, yakni meningkatkan hormon dopamine yang bisa memberikan kepuasan dan ketagihan. Semakin sering kita mengonsumsi garam dalam jumlah yang besar, semakin tinggi efek dari ketagihan ini.

Beberapa Faktor yang Menyebabkan Kecanduan Garam

Terdapat beberapa hal yang bisa membuat seseorang mengalami kecanduan garam.

Berikut adalah faktor-faktor tersebut.

  1. Kebiasaan Mengonsumsi Makanan Asin

Jika kita terbiasa mengonsumsi makanan asin, maka di dalam otak terbentuk persepsi tentang rasa makanan yang enak. Hal ini membuat kita menganggap makanan yang kurang asin menjadi kurang nikmat. Karena alasan inilah banyak orang yang terbiasa mengonsumsi makanan cepat saji yang cenderung tinggi garam kesulitan untuk menghentikan kebiasaannya.

  1. Faktor Genetik

Kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi garam ternyata juga bisa dipengaruhi oleh faktor genetik. Berdasarkan penelitian, disebutkan bahwa ibu hamil yang mengalami morning sickness parah bisa saja melahirkan anak yang cenderung lebih suka mengonsumsi makanan asin.

Hal ini disebabkan oleh muntah-muntah yang dialami ibu hamil akan membuat tubuh ibu kekurangan garam sehingga membentuk persepsi pada otak bayi untuk lebih banyak mengonsumsi garam demi mengendalikan cairan tubuh.

  1. Faktor Mental

Orang yang sedang mengalami stres atau gangguan mental lainnya cenderung memiliki keinginan lebih besar untuk mengonsumsi makanan asin layaknya keripik, saus, makanan kemasan, hingga makanan cepat saji. Hal ini disebabkan oleh otak yang tertekan dengan adanya stres yang ingin mendapatkan kepuasan atau ketenangan tersendiri dengan mengonsumsi makanan yang enak.

Membatasi Asupan Garam

Tak hanya menyebabkan kecanduan, dalam realitanya konsumsi garam berlebihan bisa membuat kita lebih rentan mengalami tekanan darah tinggi. Padahal, hal ini bisa berimbas pada meningkatnya risiko terkena penyakit jantung, stroke, dan masalah lainnya. Karena alasan inilah kita memang sebaiknya mulai membatasi asupan garam.

Pakar kesehatan menyebut garam masih dibutuhkan tubuh demi menjaga keseimbangan cairan tubuh, fungsi saraf, dan otot. Untuk kebutuhan tersebut, kita memerlukan sekitar 500 mg garam. Hanya saja, Kementerian Kesehatan RI menyebut konsumsi garam per hari sebaiknya dibatasi sekitar 2.000 mg atau jika dikonversikan ke sendok teh adalah satu sendok.

Selain menurunkan pemberian garam saat memasak, sebaiknya kita juga mengurangi konsumsi makanan atau camilan tinggi garam demi menjaga kesehatan tubuh.

 

Sumber:

  1. Smith, Belinda. 2016. Love salt? Studies show why it’s so addictive. com/biology/love-salt-studies-show-why-it-s-so-addictive. (Diakses pada 19 September 2019).

DokterSehat | © 2024 PT Media Kesehatan Indonesia. Hak Cipta Dilindungi