DokterSehat.com – Setiap orang pasti memiliki rasa takut, namun jika rasa takut yang dialaminya berlebihan terutama terhadap hal-hal yang berada di luar dirinya, kondisi ini sering disebut sebagai fobia. Salah satu fobia yang paling dibicarakan adalah fobia melihat kumpulan lubang atau disebut juga trypophobia.
Apa Itu Trypophobia?
Trypophobia adalah rasa takut akan kumpulan lubang atau benjolan yang memiliki pola saling berdekatan. Ketika seseorang menderita penyakit trypophobia, efek yang bisa terjadi adalah ketakutan parah, gemetar, berkeringat, gatal, mual dan kepanikan.
Meski ketakutan adalah salah satu gejala yang paling umum, rasa jijik sering digambarkan oleh kebanyakan orang yang mengalami fobia lubang ini. Tidak seperti fobia-fobia jenis lainnya, trypophobia cenderung paling mencolok secara visual, sehingga hanya melihat gambarnya saja sudah cukup memicu kecemasan dan perasaan jijik.
Meski begitu, beberapa peneliti mempertanyakan validitas trypophobia sebagai fobia. Meski terlihat biasa saja bagi beberapa orang namun hal ini bisa menjadi ancaman bagi penderita fobia lubang atau disebut juga trypophobia.
Trypophobia belum dikenal secara formal dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-V), namun beberapa pakar sudah mengakui penyakit trypophobia.
Penyebab Trypophobia
Penelitian tentang trypophobia masih sangat terbatas, tetapi ada beberapa teori tentang mengapa hal itu bisa terjadi. Berikut ini adalah beberapa penyebab penyakit trypophobia, di antaranya:
1. Evolusi manusia
Salah satu teori paling populer mengatakan, trypophobia adalah respons evolusioner manusia terhadap hal-hal yang berhubungan dengan penyakit atau bahaya. Masalah pada kulit, munculnya parasit dan kondisi infeksi, ditandai dengan adanya lubang atau benjolan. Hal inilah yang menunjukkan bahwa trypophobia memiliki dasar evolusi.
Selain itu, kecenderungan seseorang dengan trypophobia juga konsisten, karena pada umumnya setiap orang merasa jijik lebih besar daripada rasa takut ketika melihat objek dengan banyak lubang atau benjolan.
2. Ingatan tentang hewan berbahaya
Teori lain menunjukkan bahwa kumpulan lubang di satu area memiliki penampilan yang mirip dengan pola kulit pada beberapa hewan berbisa. Orang mungkin takut akan pola-pola ini karena gambaran tentang hewan berbahaya yang sebenarnya tidak disadari.
Sebuah studi mengungkapkan, bagaimana orang dengan trypophobia menanggapi rangsangan tertentu dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki kondisi tersebut. Saat melihat sarang lebah (objek trypophobia yang umum), orang yang tidak memiliki trypophobia segera memikirkan hal-hal seperti madu atau lebah.
Sedangkan mereka yang memiliki trypophobia secara tidak sadar mengaitkan pemandangan sarang lebah dengan organisme berbahaya yang memiliki karakteristik visual dasar yang sama.
Meskipun penderita tidak secara sadar menyadari hubungan ini, mungkin itulah yang menyebabkan mereka merasakan perasaan jijik atau takut.
3. Ingatan tentang penyakit menular
Sebuah studi menunjukkan bahwa seseorang dengan trypophobia, cenderung mengaitkannya dengan penyakit yang ditularkan melalui kulit. Bahkan, mereka juga cenderung merasa gatal ketika melihat kumpulan lubang.
Jijik atau takut akan ancaman potensial adalah respons evolusioner adaptif. Dalam banyak kasus, perasaan ini membantu menjaga Anda tetap aman dari bahaya. Pada kasus trypophobia, para peneliti meyakini hal ini merupakan bentuk yang paling umum dan berlebihan dari respons evolusioner adaptif.
4. Respons terhadap karakteristik visual
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ketidaknyamanan yang dirasakan orang terhadap objek trypophobia hanya terkait dengan karakteristik visual pola tersebut, bukan terkait dengan hewan berbahaya. Penelitian inilah yang kemudian mempertanyakan apakah penyakit trypophobia masuk dalam fobia atau tidak–atau hanya respon alami terhadap rangsangan visual.
5. Memiliki masalah mental
Sebuah penelitian menemukkan bahwa orang dengan dengan trypophobia lebih mungkin untuk mengalami gejala kecemasan dan depresi. Gejala trypophobia juga ditemukan bersifat terus-menerus dan bertahan lama, serta menimbulkan gangguan fungsional dalam kehidupan sehari-hari.
Gejala Trypophobia
Trypophobia dapat menyebabkan gejala yang berkaitan dengan rasa takut, jijik, atau keduanya. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa banyak orang melaporkan rasa jijik yang lebih besar daripada rasa takut.
Beberapa gejala lainnya yang bisa terjadi, di antaranya:
- Ketakutan dan kecemasan.
- Merinding.
- Napas cepat.
- Berkeringat.
- Mual dan muntah.
- Gatal.
- Kepanikan.
- Gemetar.
- Sulit mengatur emosi.
Diagnosis Trypophobia
Pada umumnya, ketika dokter ingin mendiagnosis fobia, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah dengan menanyakan tentang gejala, riwayat medis, psikiatris dan sosial. Pada kasus penyakit trypophobia, seseorang akan diperlihatkan berbagai macam objek khas trypophobia, kemudian diamati responnya oleh dokter.
Selain itu, dokter juga bisa menggunakan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM–5) untuk membantu diagnosis. Namun, trypophobia tidak didiagnosis menggunakan DSM-5 karena belum secara resmi diakui sebagai masalah kesehatan mental.
Penanganan Trypophobia
Hingga kini belum ada pengobatan khusus yang terbukti efektif mampu mengatasi trypophobia. Namun, terdapat beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi mengurangi gejala penyakit trypophobia, di antaranya:
1. Terapi paparan
Perawatan ini dilakukan dengan mengekspos objek yang menjadi sumber ketakutannya. Harapannya adalah seiring waktu, paparan ini akan menyebabkan gejala ketakutan berkurang. Proses ini biasanya dilakukan secara bertahap.
Seseorang dapat mulai dengan membayangkan apa yang ditakutinya, kemudian melihat gambar-gambar objek ketakutan, dan akhirnya berada di dekat atau bahkan menyentuh sumber kecemasannya.
Dalam kasus trypophobia, langkah pertama dapat mulai dengan hanya menutup matanya dan membayangkan sesuatu seperti objek trypophobia. Lakukan aktivitas ini sampai gejalanya mulai surut.
Begitu bisa membayangkan objek tanpa respons, kemudian pindah ke langkah berikutnya yaitu melihat objek secara langsung. Terapi pemaparan berlanjut terus sampai seseorang dapat menemukan objek tanpa merasa jijik, takut, atau gelisah yang berlebihan.
2. Terapi perilaku kognitif (CBT)
Terapi perilaku kognitif atau cognitive behavioral therapy melibatkan seorang terapis untuk mengubah pikiran dan perilaku yang mendasari trypophobia. Terapi ini akan lebih banyak untuk mendiskusikan pemikiran yang tidak realistis, menggantikannya dengan yang lebih realistis, dan kemudian membuat perubahan perilaku.
Salah satu alasan mengapa seseorang mengalami gejala fobia adalah karena sering percaya terhadap sesuatu yang berbahaya atau mengancam mengenai objek yang dilihatnya. Padahal, ini adalah sumber negatif atau ketakutan yang sebaiknya dihilangkan.
3. Teknik relaksasi
Teknik relaksasi dapat berguna untuk mengurangi perasaan jijik, takut, atau gelisah. Visualisasi, pernapasan dalam, dan relaksasi otot progresif hanyalah beberapa strategi yang mungkin bisa membantu.
Visualisasi melibatkan pengambilan gambar atau situasi yang menenangkan. Seseorang dengan trypophobia mungkin mencoba membayangkan sesuatu yang indah setiap mereka melihat kumpulan lubang.
Selain itu, jika Anda melihat sesuatu yang memicu respons trypophobia, Anda bisa memalingkan muka dan mencari hal lain untuk dipikirkan atau dilihat sampai gejalanya mereda.
4. Obat-obatan
Obat anti-depresi atau anti-kecemasan kadang-kadang dapat diresepkan, terutama jika seseorang mengalami depresi atau kecemasan. Obat ini mungkin termasuk selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI), benzodiazepin, atau beta-blocker.
Meski beberapa obat-obatan ini dapat digunakan sendiri, tetapi cara ini sering kali juga digunakan bersama dengan pendekatan pengobatan lain seperti CBT, terapi paparan, atau jenis psikoterapi lainnya.
Sumber:
- https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5811467/
- https://www.healthline.com/health/trypophobia#diagnosis
- https://www.medicalnewstoday.com/articles/320512.php
- https://www.verywellmind.com/trypophobia-4687678