Sunatan tidak sebatas tradisi yang dilakukan pada anak laki-laki. Faktanya, sunat dapat mencegah berbagai masalah kesehatan. Ketahui sejumlah risiko penis tidak disunat berikut ini.
Saat bayi laki-laki baru lahir, ia memiliki pelindung tambahan di bagian kepala penis (glans). Lapisan ini dikenal sebagai preputium atau kulup.
Kulup ini akan terpisah dengan sendirinya dari kepala penis saat laki-laki menginjak usia pubertas atau bisa juga lebih awal, misalnya ketika anak berusia 5 tahun. Semakin usianya bertambah, bagian kulup akan dihilangkan melalui sunat.
Pada sebagian kalangan, sunat bukanlah merupakan suatu kewajiban. Jika seseorang memilih untuk tidak disunat, sangat penting untuk menjaga kebersihan bagian kulit ini agar terhindar dari sejumlah masalah kesehatan.
Seorang pria yang tidak disunat harus lebih memperhatikan kebersihan alat kelaminnya. Pasalnya, kulit kulup yang masih melekat dapat menjadi lokasi yang ideal bagi bakteri, virus, dan agen penyebab penyakit lainnya.
Apabila kebersihannya tidak diperhatikan, ada berbagai risiko penis tidak disunat yang dapat terjadi, di antaranya:
Saat sedang kencing, kulup penis atau foreskin pria tidak sunat jarang sekali ditarik ke belakang. Dampaknya, urine kerap menempel di sekitar kulup yang tidak dicuci dengan bersih.
Kondisi tersebut menyebabkan bakteri akan mudah tumbuh. Bahkan, bakteri seperti E. coli mudah menginfeksi dan menyebabkan saluran kemih terganggu hingga memicu infeksi saluran kemih (ISK).
Menurut penelitian lawas dalam jurnal BMJ, sunat dikaitkan dengan penurunan risiko infeksi saluran kemih secara signifikan, meskipun sampel yang diambil cenderung acak.
Gejala ISK berupa rasa perih atau panas pada ujung penis. Selain itu, pria yang mengalaminya juga akan merasakan nyeri pada bagian bawah perut saat kencing sehingga menyebabkan ketidaknyamanan.
Baca Juga: 5 Manfaat Sunat pada Bayi dan Risikonya bagi Kesehatan
Smegma adalah kotoran yang agak tebal dengan warna seperti keju. Kotoran ini terdiri dari kulit mati, minyak, dan sisa cairan yang melewati uretra (manis dan urine).
Tumpukan kotoran disebabkan oleh masalah kebersihan. Pria yang tidak sunat akan kesulitan membersihkan kepala penis hingga ke bagian terdalam karena adanya kulup yang menutupi.
Hanya mencuci glans bagian luar saja tidak akan membuat penis jadi bersih. Akibatnya, kotoran yang disebut smegma akan mudah terbentuk.
Sekilas kondisi ini memang tidak berbahaya. Namun, smegma dapat memicu gangguan kesehatan yang lebih parah, seperti infeksi balanitis. Jika mengalaminya, penis akan terluka, berwarna merah, dan terasa perih.
Salah satu risiko penis tidak disunat yang bisa terjadi adalah fimosis. Gangguan ini menyerang kulup dari penis sehingga glans tidak bisa ditarik keluar.
Biasanya kepala penis masih bisa ditarik dengan mudah meskipun penis tidak sunat. Namun, saat fimosis terjadi, ujung dari kulup mengalami penyempitan sehingga penis susah sekali ditarik.
Di sisi lain, ketika seorang pria yang terkena fimosis buang air kecil, kulup penis akan menggelembung dan susah sekali untuk dibersihkan.
Pengobatan kondisi ini umumnya berupa pemberian obat-obatan yang diresepkan oleh dokter. Namun, jika keluhan tidak kunjung membaik, pria harus disunat agar tidak menimbulkan komplikasi lainnya.
Parafimosis adalah kondisi ketika penis terjepit akibat kulup tidak kembali pada posisi normalnya. Padahal pada kondisi normal, harusnya kepala penis masih bisa ditarik, sekalipun pada pria yang tidak disunat.
Salah satu kelainan kulit kulup ini biasanya terjadi pada pria yang tidak sunat. Sementara pada pria yang kulit kulupnya sudah dihilangkan, risiko parafimosis diketahui lebih rendah.
Baca Juga: Mengenal Jenis dan Risiko Sunat pada Wanita
Penyakit menular seksual (PMS) merupakan salah satu penyakit yang berisiko terjadi pada pria yang tidak sunat. Ini terjadi karena kulit pada kulup yang tidak ‘dihilangkan’ berisiko menjadi tempat yang kondusif bagi pertumbuhan agen penyebab penyakit.
Beberapa penyakit menular yang lebih berisiko terjadi pada pria yang tidak sunat, yaitu gonore, sifilis, herpes simplex, dan infeksi HPV.
Tidak hanya itu, kulit pada kulup penis akibat tidak disunat dapat memperbesar risiko infeksi HIV. Bahkan, risikonya mencapai 2-8 kali lebih besar bila dibandingkan dengan pria yang sudah sunat.
Pria yang tidak disunat lebih berisiko mengalami kanker penis. Penelitian juga membuktikan jika pria yang disunat berisiko 20 kali lebih kecil mengalami penyakit ini.
Risiko lain pada penis tidak disunat adalah kanker prostat. Penelitian tahun 2012 lalu melaporkan jika risiko kanker prostat diketahui menurun sebesar 15 persen pada pria yang disunat sebelum berhubungan seksual untuk pertama kalinya.
Infeksi menjadi risiko penis tidak disunat yang sebaiknya diwaspadai. Kondisi ini bisa menyebabkan berbagai peradangan, seperti:
Penis yang tidak sunat memang rawan sekali mengalami pengendapan kotoran di bagian kulup. Kalau bagian ini tidak segera dibersihkan, smegma akan muncul dan aroma dari penis bisa sangat mengganggu.
Tak jarang, bau yang ditimbulkan bisa merusak aktivitas seksual. Penis bau memang tidak mengganggu secara fisik, tetapi bisa membuat pria kurang percaya diri dan pasangan kehilangan mood untuk bercinta.
Gangguan berhubungan intim juga dapat terjadi akibat penis yang terlalu sensitif. Pria yang tidak disunat memiliki sensitivitas yang sangat tinggi. Meski dapat memberikan kenikmatan yang ekstra, nyatanya hal ini juga akan mengganggu aktivitas bercinta.
Pasalnya, saat penis terlalu sensitif, pria lebih berisiko mengalami ejakulasi dini. Begitu melakukan penetrasi, pria akan susah mengendalikan rangsangan yang masuk dari penis.
Baca Juga: 5 Penyebab Kulup Penis Menjadi Ketat yang Harus Anda Tahu
Sunat menjadi tradisi bagi sebagian orang. Tindakan ini tergolong prosedur bedah kecil yang dapat menyebabkan rasa sakit.
Di balik efeknya tersebut, ada berbagai keuntungan yang bisa diperoleh oleh pria yang melakukan sunat, di antaranya:
Nah, itulah sejumlah risiko penis tidak disunat yang sebaiknya diwaspadai. Keuntungan sunat sudah tidak diragukan lagi. Namun, pertimbangan kondisi kesehatan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melakukannya.
Pasalnya, bayi prematur atau memiliki riwayat kesehatan tertentu bisa saja tidak dianjurkan untuk menjalani prosedur ini. Oleh karena itu, bicarakan kembali dengan dokter Anda, ya!