Risau akan penampilan di situasi sosial, membuat Anda kerap memeriksa penampilan di kaca? Hati-hati, bisa jadi Anda punya gangguan dismorfik tubuh! Yuk, kenali lebih jauh seputar penyakit ini lewat ulasan berikut!
Gangguan dismorfik tubuh atau body dysmorphic disorder (BDD) adalah gangguan mental yang menyebabkan penderitanya merasa khawatir berlebihan terhadap penampilan mereka.
Padahal, hal-hal yang mereka anggap sebagai “kekurangan” tersebut nyaris tak tampak sehingga sangat kecil kemungkinan untuk disadari orang lain.
Perasaan cemas berlebihan yang dirasakan, membuat orang dengan gangguan ini kerap kali menghindar dari keramaian. Hal ini tentu akan berdampak pada kehidupan sosial penderita.
Gangguan dismorfik tubuh dapat ditunjukkan dengan gejala-gejala berikut:
Rasa cemas berlebih terhadap bagian tubuh atau wajah tertentu dapat dirasakan oleh penderita gangguan dismorfik tubuh.
Pada area tubuh, umumnya penderita akan mengkhawatirkan rambut, ukuran dada atau bentuknya, warna kulit, dll.
Sementara itu, masalah wajah yang biasanya sering dikhawatirkan, yakni jerawat, kerutan, hidung, dan masih banyak lagi.
Gejala yang dapat muncul berikutnya, yaitu sering menghabiskan waktu yang lama untuk berdandan, menggunakan make up, atau memilih pakaian saat hendak keluar.
Penderita akan selalu ingin terlihat sempurna. Oleh sebab itu, ia cenderung menjadi pribadi yang perfeksionis.
Rutin melihat penampilan di kaca berulang-ulang adalah salah satu tanda yang dapat terlihat pada seseorang dengan gangguan dismorfik tubuh.
Biasanya orang dengan gangguan ini akan fokus pada kekurangan yang ia miliki, misalnya lipatan lemak pada perut, jerawat di wajah, dan lain-lain.
Selain itu, gejala yang timbul pun bisa berbanding terbalik. Artinya, orang dengan BDD juga bisa menghindari bercermin. Ini terjadi bila kondisi sudah ekstrem.
Penderita dengan gangguan ini akan sering membutuhkan pengakuan dari orang lain. Bahkan parahnya, ia percaya bila orang lain menganggap dirinya rendah.
Karena memiliki rasa rendah diri yang cukup tinggi, orang yang memiliki gangguan dismorfik tubuh cenderung membandingkan dirinya dengan orang lain, khususnya dari segi penampilan.
Membatasi interaksi dengan orang lain menjadi salah satu tanda body dysmorphic disorder pada seseorang. Karena merasa tidak percaya diri terhadap fisiknya, ia cenderung menghindar dari keramaian.
Ingin selalu tampil sempurna tanpa kurang suatu apa pun membuat orang dengan BDD berusaha menutupi kekurangannya semaksimal mungkin.
Sebagai contoh, ia akan sering berbelanja kosmetik sebagai upaya untuk menyamarkan noda hitam atau jerawat pada wajah. Biasanya penderita tidak pernah merasa puas.
Baca Juga: Intermittent Explosive Disorder: Gejala, Penyebab, Penanganan, dll
Gangguan dismorfik tubuh akan memengaruhi kehidupan seseorang, baik dalam pekerjaan, keluarga, maupun percintaan.
Penderita akan terus-menerus merasa kurang terhadap penampilannya. Tak sedikit orang yang menempuh cara instan guna memperbaiki hal-hal yang dianggap sebagai kekurangan tersebut.
Sebagai contoh, Anda yang memiliki body dysmorphic disorder merasa kurang puas dengan hidung yang cenderung pesek. Anda pun kemudian memilih operasi plastik guna membuat hidung terlihat lebih mancung.
Tindakan bedah pun bisa dilakukan sampai berulang-ulang demi memperoleh kepuasan diri. Inilah yang pada akhirnya mengganggu kehidupan sehari-hari.
Bila dibiarkan berlarut-larut tanpa ditangani, gangguan dismorfik tubuh bisa mengarah pada depresi, menyakiti diri sendiri, bahkan memicu keinginan untuk bunuh diri.
Baca Juga: Hoarding Disorder: Gejala, Penyebab, Cara Mengatasi, Komplikasi, dll
Gangguan dismorfik tubuh adalah gangguan kronis (terjadi dalam jangka panjang) dan dapat menghinggapi siapa pun, baik wanita maupun pria.
Karena termasuk gangguan kronis, BDD dimulai pada anak yang beranjak dewasa. Pada usia ini, orang cenderung akan membandingkan dirinya dengan orang lain.
Penyebab gangguan dismorfik tubuh belum bisa dipastikan. Namun, penelitian mengemukakan sejumlah faktor risiko seseorang bisa mengalami BDD, di antaranya:
Bila tidak ditangani secara profesional, gangguan ini akan memburuk seiring bertambahnya usia seseorang.
Mereka akan merasa tidak senang terhadap perubahan yang muncul terkait perubahan usia, misalnya munculnya uban, garis halus dan kerutan pada wajah, dan berbagai perubahan fisik lainnya.
Dengan penanganan yang tepat, pasien BDD dapat sembuh. Umumnya ada dua pilihan pengobatan, yakni terapi dan penggunaan obat-obatan oral.
Bila gejala yang ditunjukkan oleh penderita ringan, cognitive behavioral therapy (CBT) dapat dilakukan.
Sementara itu, orang bergejala sedang dapat memilih antara terapi, atau penggunaan obat antidepresan jenis selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs).
Di lain sisi, kedua jenis terapi perlu diberikan apabila gejala gangguan dismorfik tubuh masuk kategori parah.
Berikut rincian terapi gangguan dismorfik tubuh yang penting untuk diketahui:
Terapi CBT dapat dilakukan baik secara individu ataupun kelompok.
Terapi ini diharapkan dapat membantu orang dengan BDD mengelola gejala dengan mengubah cara berperilaku dan bertindak.
Dengan begitu, orang dengan gangguan ini akan mengenali gejala yang muncul, lalu mengetahui cara untuk menanganinya. CBT umumnya melibatkan exposure and response prevention (ERP).
SSRIs merupakan jenis antidepresan yang digunakan sebagai terapi gangguan dismorfik tubuh. Terdapat sejumlah obat-obatan yang tergolong antidepresan ini. Namun, jenis yang paling sering digunakan pada kasus BDD adalah fluoxetine.
Waktu yang diperlukan bagi obat untuk bekerja kurang lebih sekitar 12 minggu atau 3 bulan. Bila pengobatan menggunakan SSRIs cocok, penderita akan disarankan untuk meminum obat selama beberapa bulan untuk mengontrol gejala.
Pada sebagian orang, konsumsi obat antidepresan ini dapat mengakibatkan efek samping, seperti:
Apabila mengalami gejala gangguan dismorfik tubuh, segera periksakan kepada psikolog atau psikiater. Dengan demikian, penanganan dapat dilakukan sedini mungkin.