Paxlovid adalah obat antivirus oral yang mengurangi kemampuan SARS-CoV-2 (virus penyebab COVID-19) untuk berkembang biak di dalam tubuh. Apakah obat ini menurunkan risiko kematian akibat virus Corona? Simak penjelasan selengkapnya di bawah ini.
Paxlovid adalah kombinasi antivirus PF-07321332 dan ritonavir dosis rendah (obat antiretroviral yang secara tradisional digunakan untuk mengobati HIV).
Obat yang dikembangkan oleh Pfizer ini mampu menghambat replikasi SARS-CoV-2 dalam tubuh dengan mengikat 3CL-like protease, enzim yang penting untuk fungsi dan reproduksi virus.
Paxlovid dirancang khusus untuk diberikan secara oral sehingga dapat diresepkan saat muncul tanda pertama infeksi atau saat kesadaran pertama akan paparan.
Seperti halnya Molnupiravir yang diberikan secara oral, itu berarti pasien COVID-19 dapat mengonsumsi Paxlovid di rumah pada tahap awal infeksi.
Hal ini memungkinkan seseorang yang terinfeksi virus Corona gejala ringan/sedang untuk dirawat lebih cepat, mencegah perkembangan penyakit, dan menghindari perawatan di rumah sakit.
Hasil penelitian yang melibatkan lebih dari 2.200 orang yang berisiko tinggi mengembangkan COVID-19 yang serius menemukan bahwa—obat tersebut mengurangi risiko rawat inap atau kematian sebesar 89%—dibandingkan dengan plasebo ketika diminum dalam tiga hari sejak gejala pertama penyakit.
Saat diminum dalam waktu lima hari, obat tersebut mengurangi risiko rawat inap dan kematian hingga 88%.
Dalam keseluruhan populasi penelitian hingga hari ke 28, tidak ada kematian yang dilaporkan pada pasien yang menerima Paxlovid dibandingkan dengan pasien yang menerima plasebo.
Jika disetujui, Paxlovid akan menjadi antivirus oral pertama dari jenis inhibitor protease SARS-CoV-2-3CL. Setelah itu, obat dapat diresepkan lebih luas sebagai perawatan di rumah untuk membantu mengurangi keparahan penyakit, rawat inap—hingga kematian.
Baca Juga: Mengenal Terapi Plasma Konvalesen untuk Pasien COVID-19
Selain diklaim mampu mengurangi risiko rawat inap dan kematian pada seseorang yang tidak divaksinasi, Pfizer mengatakan bahwa percobaan laboratorium menunjukkan bahwa obat ini dapat menyerang protein kunci dalam varian Omicron atau disebut virus Corona B.1.1.529, yang melonjak di Afrika Selatan dan Eropa.
Bukti awal menunjukkan bahwa varian Omicron mungkin membuat seseorang yang sudah pernah terinfeksi virus Corona dapat terinfeksi ulang. Meski begitu, informasi mengenai hal ini masih terbatas dan masih terus berlangsung.
Saat ini, WHO sedang berkoordinasi dengan berbagai peneliti di seluruh dunia untuk lebih memahami Omicron. Studi yang berlangsung saat ini termasuk tingkat penularan, tingkat keparahan infeksi (termasuk gejala), kinerja vaksin, tes diagnostik, dan efektivitas pengobatan.