Swafoto atau selfie merupakan aktivitas mengambil foto diri sendiri yang mulai banyak dilakukan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya smartphone dengan kamera. Sayangnya, kebiasaan untuk melakukan swafoto atau selfie juga dapat memicu terjadinya penyakit mental yang disebut dengan selfitis atau selfitis syndrome. Apa itu? Yuk, simak pembahasannya berikut!
Dikutip dari laman Forbes, American Psychiatric Association (APA) mendefinisikan selfitis adalah keinginan obsesif kompulsif untuk mengambil foto diri sendiri lalu mempublikasikan foto tersebut di akun media sosial sebagai cara untuk menebus kurangnya harga diri dan mengisi kesenjangan dalam keintiman.
Selfitis dikategorikan sebagai salah satu gangguan mental (mental disorder) dan dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan, yakni:
Lebih lanjut, beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa selfitis berkaitan dengan narsisme dan kurangnya pertimbangan terhadap orang lain yang ditandai dengan penggunaan filter berlebihan untuk membuat diri terlihat lebih baik dibanding orang lain.
Baca Juga: 7 Cara Menghadapi Seseorang dengan Kondisi Narsistik
Sebuah penelitian mengungkapkan tentang hal-hal apa saja yang menyebabkan seseorang memiliki perilaku selfitis dan membaginya ke dalam enam kategori, yakni:
Pertama, beberapa orang beranggapan bahwa melakukan selfie dan mengunggahnya ke media sosial dapat meningkatkan kualitas lingkungan mereka. Hal ini umumnya ditandai dengan adanya perasaan nyaman dan kemampuan untuk lebih mengekspresikan diri mereka.
Kedua, penyakit selfitis juga dapat dipicu oleh kompetisi “sosial”, yakni melalui persaingan jumlah views, likes, maupun comments.
Banyak orang beranggapan bahwa semakin banyak jumlah likes pada postingan mereka maka status sosial mereka menjadi lebih tinggi. Oleh sebab itu, mereka rela melakukan apapun demi meraih views, likes, atau comments sebanyak-banyaknya.
Sebagian besar orang mengaku bahwa kebiasaan mereka posting foto pada akun media sosial mereka disebabkan oleh kurangnya perhatian yang mereka terima dari orang-orang terdekat, termasuk keluarga. Hal inilah yang mendorong mereka untuk mencari perhatian secara virtual dari para pengguna media sosial.
Beberapa orang mengaku bahwa selfie dapat membuat mereka merasa lebih baik atau mengurangi stres. Hal ini mungkin dipicu adanya pengakuan positif yang mereka terima dari pengguna jagat maya yang tidak mereka dapatkan dari orang-orang di sekitar mereka.
Perkembangan teknologi memungkinkan kita untuk melakukan beberapa perubahan pada bagian tubuh yang “tidak kita inginkan” dan membuatnya terlihat lebih baik dan sedap dipandang secara visual di media virtual.
Bagi beberapa orang, hal inilah yang membuat mereka merasa lebih percaya diri serta mendorong mereka untuk terus menerus memposting selfie mereka di akun media sosial.
Beberapa orang mengaku bahwa kebiasaan selfie dan posting di akun media sosial merupakan bentuk penyesuaian mereka dengan komunitas tertentu.
Mereka khawatir jika tidak melakukannya maka mereka akan dikucilkan dari komunitas tersebut, sehingga mereka terus menerus melakukannya agar disukai dan diterima.
Baca Juga: FoMO (Fear of Missing Out), Dampak untuk Kehidupan dan Cara Mengatasi
Berikut ini merupakan tanda-tanda penyakit selfitis yang perlu diwaspadai menurut The Daily Star:
Selfitis umumnya ditandai dengan sifat egois yang muncul berkaitan dengan foto yang diambil, misalnya menggunakan filter berlebihan untuk membuat diri terlihat lebih baik, atau mengunggah foto teman yang dianggap jelek atau memalukan.
Hal ini umumnya disebabkan oleh rasa khawatir yang berlebihan tentang anggapan orang lain mengenai diri sendiri. Padahal, belum tentu hal yang menjadi kekhawatiran mereka sungguh-sungguh terjadi.
Selain egois, orang yang menderita penyakit selfitis juga cenderung merasa dirinya lebih superior daripada orang lain.
Pandangan inilah yang memicu pemikiran bahwa ia tidak perlu atau tidak memiliki kewajiban untuk menuruti perintah siapapun sehingga menimbulkan sikap yang sulit diatur.
Masih berkaitan dengan pemikiran bahwa dirinya merupakan makhluk “superior”, penderita selfitis syndrome juga cenderung enggan menerima kritik dalam bentuk apapun.
Sederhananya, mereka memandang diri lebih sempurna dibanding orang lain, namun di sisi lain mental mereka akan cepat hancur apabila menerima kritik.
Karena mereka beranggapan bahwa dirinya makhluk sempurna yang tidak butuh dikritik, maka jangan heran apabila mereka bersikap abai terhadap setiap kritik yang ditujukan pada mereka.
Hal ini disebabkan pola pandang mereka yang salah dan menganggap bahwa setiap kritik yang dilayangkan sangat tidak relevan dengan keadaan mereka.
Perilaku penderita selfitis yang mungkin bisa menjadi titik klimaks yang berpotensi dapat menghancurkan hubungan sosial mereka dengan masyarakat, adalah perasaan tidak bertanggungjawab atau keengganan mereka untuk bertanggungjawab atas kesalahan yang diperbuat. Biasanya hal ini ditandai dengan sikap sering menyalahkan orang lain.
Tanda umum yang dijumpai pada penderita selfitis adalah mudah marah, bahkan untuk alasan sekecil apapun. Mereka akan marah ketika menerima kritik, marah ketika dianggap tidak sempurna, dan marah ketika diperintahkan untuk melakukan sesuatu hal.
Sebagai tambahan, dilansir dari Healthline, penderita selfitis juga umumnya memiliki keinginan yang tinggi untuk mengubah bagian tertentu dari tubuh mereka.
Hal ini umumnya dilatarbelakangi oleh rasa tidak puas terhadap penampilan mereka, ditambah dengan penggunaan filter berlebihan yang membuat mereka berpikir untuk mengubah penampilan mereka agar terlihat sama dengan foto yang diambil.
Baca Juga: 12 Dampak Negatif Internet yang Perlu Anda Waspadai
Metode pengobatan paling signifikan untuk memulihkan keadaan penderita selfitis syndrome adalah terapi perilaku kognitif.
Penanganan selfitis syndrome sebaiknya dilakukan dengan bantuan tenaga profesional untuk memulihkan pemahaman pasien mengenai value yang terkandung dalam dirinya.
Terapi perilaku kognitif dapat dilakukan dengan metode konseling dengan indikator pencapaian sebagai berikut:
Sebagaimana penyakit mental pada umumnya, pengobatan pada seseorang dengan penyakit selfitis juga membutuhkan waktu yang cukup lama. Pengobatan yang terburu-buru berpotensi menyebabkan berbagai risiko seperti munculnya perasaan kesepian, rendah diri, perasaan gelisah, hingga memicu amarah yang tidak terkontrol.