Vaksin AstraZeneca (AZD1222) atau disebut juga Vaxzevria adalah salah satu vaksin yang digunakan di Indonesia untuk mencegah penyebaran virus Corona (COVID-19). Seperti vaksin lainnya yang sudah mendapatkan izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, hal ini membuat Astrazeneca Indonesia aman digunakan.
BPOM bersama tim pakar KOMNAS Penilai Obat, KOMNAS PP KIPI, dan Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) mengungkapkan, walaupun pada pemberian vaksinasi mungkin dapat menimbulkan kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI), namun risiko kematian akibat COVID-19 jauh lebih tinggi. Oleh karena itu, masyarakat tetap harus mendapatkan vaksinasi.
BPOM mengatakan, manfaat pemberian vaksin AstraZeneca lebih besar dibandingkan risiko yang ditimbulkan. Meski begitu, dalam informasi yang tercantum dalam produk vaksin, terdapat peringatan kehati-hatian penggunaan vaksin AstraZeneca pada orang dengan trombositopenia dan gangguan pembekuan darah.
Akan tetapi, menurut jurnal internasional, kejadian trombositopenia dan gangguan pembekuan darah akan lebih tinggi potensinya pada orang yang terkena COVID-19 yang tidak divaksin AstraZeneca.
Sebelumnya, terdapat kasus di mana seorang pria 22 tahun bernama Trio yang meninggal usai divaksin COVID-19. Lalu, ada juga dua penerima vaksin AstraZeneca batch CTMAV547 yang juga meninggal, tapi setelah dilakukan investigasi dari KIPI, dua penerima vaksin terakhir tidak terkait dengan vaksin AstraZeneca.
BPOM sendiri selalu melakukan pengawasan mutu vaksin COVID-19 pada saat sebelum diedarkan dengan penerbitan lot release dan saat di peredaran dengan melakukan pengambilan sampel dan pengujian mutu secara periodik.
Selain itu, Badan POM bersama Kementerian Kesehatan RI dan Komnas PP KIPI terus memantau keamanan vaksin yang digunakan di Indonesia dan menindaklanjuti setiap Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi.
Perlu Anda ketahui, vaksin ini dibuat dari virus lain ( vektor virus adenovirus) yang telah dimodifikasi untuk mengandung gen untuk membuat SARS-CoV-2 spike protein. Ini adalah protein pada permukaan virus SARS-CoV-2 yang dibutuhkan virus untuk masuk ke dalam sel tubuh.
Setelah disuntikan, vaksin mengirimkan gen SARS-CoV-2 ke dalam sel-sel dalam tubuh. Sel akan menggunakan gen untuk menghasilkan spike protein. Hal ini membuat sistem kekebalan tubuh mengenali protein ini sebagai benda asing dan menghasilkan antibodi serta mengaktifkan sel T (sel darah putih) untuk menyerangnya.
Jika di kemudian hari seseorang terkena virus SARS-CoV-2, sistem kekebalannya akan mengenalinya dan siap untuk melawannya. Adenovirus dalam vaksin tidak dapat bereproduksi dan tidak menyebabkan penyakit.
Seperti halnya vaksin apa pun, Anda mungkin mengalami beberapa efek samping umum, meliputi:
Sebagian besar efek samping di atas berlangsung ringan, sementara, dan hilang dalam 1-2 hari.
Sementara pada kasus yang serius adalah pembekuan darah pada seseorang yang memiliki jumlah keping darah (trombosit) rendah. Ini adalah kasus yang jarang dan diperkirakan terjadi pada 1 dari 100.000 orang yang divaksin.
Pada Maret 2021, beberapa negara Eropa menghentikan penggunaan vaksin AstraZeneca setelah beberapa laporan pembekuan darah. Pembekuan yang terkait dengan vaksin ini memiliki karakteristik yang sangat spesifik:
Ditemukan bahwa orang dengan pembekuan darah ini menunjukkan beberapa gejala yang mirip dengan kondisi yang disebut heparin-induced thrombocytopenia (HIT). Meskipun ini adalah efek samping yang serius, penting juga untuk melihat konteks kejadiannya.
Perlu Anda ketahui, COVID-19 membawa risiko pembekuan darah yang jauh lebih tinggi: 7,8 persen orang yang pernah terinfeksi virus Corona juga memiliki emboli paru dan 11,2 persen mengalami trombosis vena dalam.
Saat ini data yang tersedia dari Persatuan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) mengizinkan vaksin jenis mRNA seperti Moderna dan Pfizer, serta vaksin virus inaktivasi seperti Sinovac untuk ibu hamil dengan usia kehamilan 13 – 33 minggu, sedangkan untuk Astrazeneca masih belum dapat diberikan pada ibu hamil. Wanita hamil dapat menerima vaksin jika manfaat yang didapatkan lebih besar dari risikonya.
Untuk alasan ini, wanita hamil yang berisiko tinggi terpapar virus Corona atau yang memiliki penyakit penyerta yang meningkatkan risiko penyakit menjadi semakin parah, dapat divaksinasi dengan berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter kandungan.
Vaksinasi direkomendasikan untuk orang dengan penyakit penyerta yang telah diidentifikasi meningkatkan risiko COVID-19 yang parah, termasuk obesitas, penyakit kardiovaskular, penyakit pernapasan, dan diabetes.
Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk orang dengan HIV atau kondisi autoimun, orang dalam kategori ini merupakan bagian dari kelompok yang direkomendasikan untuk mendapatkan vaksin namun setelah konsultasi dengan dokter. Pemberian vaksin juga dapat diberikan pada seseorang yang pernah terinfeksi COVID-19 di masa lalu.
Vaksinasi juga dapat diberikan pada wanita yang sedang menyusui. Selain itu, WHO tidak merekomendasikan penghentian menyusui setelah vaksinasi.
Orang dengan riwayat reaksi alergi parah terhadap komponen vaksin apa pun tidak boleh mendapatkan vaksin. Selain itu, hingga saat ini vaksin Astrazeneca belum direkomendasikan untuk orang yang berusia kurang dari 18 tahun.
Dosis yang dianjurkan adalah dua dosis yang diberikan secara intramuskular (masing-masing 0,5 ml) dengan selang waktu 8 hingga 12 minggu.
Uji coba dan studi lanjutan masih terus dilakukan untuk memberikan informasi tentang berapa lama perlindungan berlangsung, termasuk terhadap varian virus baru, seberapa baik vaksin mencegah COVID-19 yang parah, seberapa baik vaksin melindungi lansia, orang dengan gangguan kekebalan, dan apakah vaksin mencegah kasus tanpa gejala.
Hingga saat ini tidak ada data substantif yang tersedia terkait dengan dampak vaksin ini pada transmisi atau pelepasan virus. Namun, Vaxzevria aman dan efektif untuk melindungi orang dari risiko COVID-19 yang sangat serius, termasuk kematian, rawat inap, dan penyakit parah.
Vaksin ini memiliki kemanjuran 63,09% terhadap infeksi SARS-CoV-2 yang bergejala. Interval dosis yang lebih lama dalam rentang 8 hingga 12 minggu dikaitkan dengan kemanjuran vaksin yang lebih besar.
Perlu Anda ketahui, dibutuhkan 3 minggu setelah mendapatkan dosis pertama agar vaksin AstraZeneca bekerja. Anda akan mendapatkan perlindungan terbaik setelah dosis kedua.