Broken home adalah frasa untuk rumah tangga yang berantakan dan memberi efek buruk pada perkembangan anak. Ketahui apa artinya broken home, bagaimana dampak bagi anak, dan cara mengatasinya dalam pembahasan ini.
Broken home adalah istilah internasional untuk keluarga dengan orang tua yang berpisah atau bercerai hingga menyebabkan masalah pada tumbuh kembang anak.
Sementara istilah anak broken home mengacu pada anak-anak yang tumbuh tanpa pendampingan dan kasih sayang yang cukup dari orang tua yang sudah berpisah, sehingga cenderung memiliki masalah psikologis dan juga rentan melakukan kenakalan remaja.
Walaupun demikian, stigma anak broken home tidak selamanya benar. Anak-anak yang tumbuh dengan orang tua yang bercerai belum tentu “broken” atau hancur.
Mereka tetap mampu mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan pendidikan yang baik asalkan kedua orang tuanya tetap bertanggung jawab dan bekerja sama merawat anak walaupun mereka sudah berpisah.
Rumah adalah tempat paling aman dan nyaman di mana anak-anak dan seluruh anggota keluarga saling belajar, membagi dan menerima kasih sayang, serta tumbuh menjadi pribadi yang luar biasa.
Berbeda bila rumah tersebut hancur, maka akan ada perdebatan dan masalah-masalah yang akan berefek buruk pada setiap anggota keluarga. Dalam kasus tersebut, anak-anak rentan menjadi korban dan hal-hal tragis mungkin terjadi.
Berikut ini beberapa penyebab broken home:
Perceraian menjadi alasan utama broken home. Anak-anak akan tinggal dengan salah satu orang tua saja dan ketidakhadiran satu sosok orang tua lainnya akan menyebabkan disfungsi keluarga secara emosional bagi anak.
Belum lagi bila faktor-faktor lain terjadi, misalnya keributan di dalam rumah, pertengkaran, masalah seksual, ekonomi, dan sebagainya yang akan sangat menyakitkan bila anak tersebut menyaksikannya.
Seorang anak yang ayah atau ibunya meninggal akan merasakan kehilangan dan masalah psikologi yang sulit dijelaskan.
Bila anak tersebut masih sangat kecil, kehilangan sosok seorang ibu atau ayah akan berefek pada perkembangan dan pertumbuhannya hingga ia beranjak dewasa.
Bagaimanapun, setiap keluarga pasti memiliki masalah masing-masing. Sangat baik bila bisa diselesaikan secara kekeluargaan, namun sering kali kesalahpahamanan antar anggota keluarga bisa menciptakan perdebatan hebat, amarah, disfungsi keluarga, hingga hubungan yang tidak sehat di dalam rumah hingga salah satunya memutuskan untuk pergi.
Ayah dan ibu yang gagal mendidik anaknya atau mendidik anaknya dengan cara yang kurang tepat dapat menyebabkan masalah disfungsi keluarga.
Anak-anak mungkin tidak memiliki hubungan yang hangat dengan orang tua dan menyebabkan masalah emosional di antara semua pihak.
Bila ada pihak ketiga yang coba mengatur orang tua dalam mengurus keluarga, maka sistem keluarga bisa saja rusak. Misalnya, orang tua yang terlalu menuntut anak karena pengaruh tetangga akan membuat anak merasa hidup menderita.
Baca Juga: 12 Indikator Keluarga Sehat yang Wajib Dipenuhi Keluarga Indonesia
Anak akan merasa akibat buruk dari efek broken home dengan alasan apa pun. Terlebih lagi perpisahan orang tua akan membuat anak ketakutan secara emosional, sosial, dan fisik.
Banyak kasus di mana anak broken home mengalami kesedihan berkepanjangan dan itu berefek buruk pada banyak aspek dalam kehidupannya.
Berikut ini beberapa dampak negatif dari broken home pada anak:
Anak-anak akan kekurangan berbagai bentuk kasih sayang dari orang tua, terutama bila mereka hidup hanya dengan salah satu orang tua sejak masih kecil.
Penelitian dari University of Toronto menemukan bahwa pria yang tumbuh dari orang tua yang bercerai 3 kali lebih rentan memiliki pikiran untuk bunuh diri daripada laki-laki yang tumbuh dari orang tua yang tidak pernah bercerai.
Perpisahan orang tua akan berpengaruh pada kemampuan akademik anak. Beberapa penelitian menemukan bahwa anak-anak dari orang tua yang bercerai memiliki nilai yang lebih rendah dari kelompoknya.
Anak mungkin tidak fokus karena orang tua tidak menemaninya belajar atau anggota keluarganya tidak membuatnya nyaman.
Setiap anak memiliki reaksi berbeda dalam mengelola kesedihan dari masalah orang tua mereka. Beberapa anak mungkin jadi pendiam, tidak mau bersosialisasi, dan menutup diri.
Anak broken home lainnya mungkin menjadi cukup nakal untuk menarik perhatian di sekolah atau pada anggota keluarga lainnya.
Tentu saja ada dinamika masalah keluarga dari waktu ke waktu yang anak harus hadapi. Orang tua yang bercerai mungkin memiliki aturan berbeda, sesama saudara mungkin tidak akur, tidak ada pengertian, dan berbagai perdebatan dari hubungan keluarga yang tidak harmonis.
Anak broken home akan mengalami masalah perilaku, setidaknya sampai mereka remaja. Misalnya, mereka mungkin akan memiliki sikap yang sangat dingin atau sangat memberontak.
Anak tersebut mungkin kehilangan kasih sayang dan cinta kasih dari orang tua sejak masih kecil, sehingga mengalami masalah perilaku sebagai bentuk dari reaksinya terhadap kesedihan.
Bukan hanya pelajaran di sekolah atau hal-hal mencakup pendidikan, anak yang tumbuh dari orang tua yang bercerai akan sulit mengelola kemampuan emosional.
Misalnya, kemampuan untuk komunikasi, mengerti, berbagi, mengayomi, dan sebagainya.
Anak mungkin akan mengalami masalah kepercayaan dengan salah satu atau kedua orang tua. Mereka akan sering berdebat, tidak setuju, dan tidak saling menghargai.
Masalah perilaku juga rentang terjadi saat anak laki-laki mengetahui salah satu orang tuanya sudah menikah dan memiliki keluarga lain.
Anak-anak akan merasa diabaikan, dilecehkan, dan tidak dicintai. Berdasarkan penelitian, efek emosional dan masalah psikologis anak-anak yang tumbuh dari keluarga yang tidak utuh mungkin bertahan hingga mereka dewasa.
Perceraian orang tua mungkin akan membuat anak tidak percaya diri, terlebih lagi saat anak mendapat stigma negatif dari anak broken home.
Anak juga akan merasa kesedihan berkelanjutan, frustasi, hingga menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab perpisahan orang tua.
Saat dewasa, orang tersebut mungkin akan memiliki trauma untuk menjalin hubungan emosional dengan orang lain. Mereka mungkin menutup diri untuk memiliki hubungan emosional karena takut mengulangi kesalahan orang tuanya di masa lalu.
Baca Juga: 12 Indikator Keluarga Sehat yang Wajib Dipenuhi Keluarga Indonesia
Setiap pasangan yang menikah pasti tidak mau bercerai atau berpisah, namun perpisahan mungkin terjadi karena satu dan lain hal.
Bila orang tua memutuskan untuk bercerai atau berpisah karena suatu tragedi menyedihkan, mohon lakukan beberapa hal penting ini untuk anak:
Bicarakan pada pasangan Anda masalah intinya. Bila memang harus berpisah, mohon tetap membagi tugas merawat anak dengan porsi seimbang.
Bagaimanapun tidak ada mantan ayah atau mantan ibu bagi anak, jadi tetap jalankan fungsi orang tua seperti kalian tidak bercerai.
Belajar untuk saling memaafkan antar anggota keluarga. Akui bila melakukan kesalahan, bahkan orang tua harus meminta maaf pada anak bila tidak sengaja menyakiti anak.
Bahkan, saling memaafkan dan belajar untuk saling mengerti dapat mencegah perceraian.
Bukan hanya komunikasi antar orang tua untuk menyelesaikan konflik, namun orang tua harus tahu cara komunikasi dengan anak.
Tanyakan anak apa yang ia rasakan, butuhkan, dan inginkan. Jadilah orang tua terbaik dan terhebat yang anak Anda miliki.
Ada banyak kegiatan menyenangkan yang dapat memperkuat atau mengembalikan kehangatan hubungan antar keluarga, misalnya:
Cari permainan atau kegiatan yang bisa Anda lakukan bersama keluarga, misalnya menonton film, memasak, pergi berkemah, dan sebagainya.
Pasangan harus mencari bantuan profesional untuk menyelamatkan rumah tangga atau mempelajari cara menjadi orang tua yang hebat walaupun harus bercerai.
Sebaiknya juga fasilitasi anak untuk konsultasi ke psikolog untuk menjaga kesehatan mental anak dan memastikan anak tumbuh dengan baik. Anda juga bisa berkonsultasi dengan guru anak-anak Anda.