Anda pernah mendengar istilah Stockholm syndrome? Ada sejumlah kasus terkenal di dunia ini yang kerap dikaitkan dengan fenomena tersebut. Lantas, apa itu Stockholm syndrome dan seseorang bisa mengalami hal ini? Ketahui lebih lanjut mengenai kondisi ini selengkapnya!
Stockholm syndrome adalah anomali respons psikologis pada korban penculikan, tawanan, dan sejenisnya. Dikatakan anomali karena korban menunjukkan respons psikologis ‘tidak biasa’ yakni empati kepada sang pelaku. Pada sejumlah kasus, korban penculikan bahkan merasa jatuh cinta kepada orang yang telah menculiknya dan tidak senang jika sang pelaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain.
Lambat laun, fenomena Stockholm syndrome konteksnya semakin meluas tak hanya pada korban penculikan namun juga mereka—terutama wanita—yang tetap ‘bertahan’ dengan pasangan yang kerap melakukan tindak kekerasan baik kekerasan verbal maupun kekerasan fisik.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang kriminolog sekaligus psikologis bernama Nils Bejerot.
Penamaan sindrom Stockholm berdasarkan pada peristiwa perampokan bank yang terjadi di Stockholm, Swedia pada tahun 1973. Seorang perampok bernama Jan-Erik Olsson menyandera empat pegawai bank KreditBanken selama 6 hari dan menyekap mereka di ruang penyimpanan uang (vault).
Menariknya, pasca terbebas dari penculikan berkat tim kepolisian, keempat pegawai bank tersebut justru membuat pengakuan yang mengejutkan!
Ya, alih-alih benci mereka justru merasa empati terhadap Jan-Erik Olsson. Dikatakan bahwa relasi mereka dengan pelaku selama disekap juga terbilang “baik”. Keempatnya bahkan menolak untuk dihadirkan sebagai saksi memberatkan pada persidangan Jan-Erik dan rekannya Clark Olofsson.
Dari sinilah istilah sindrom Stockholm bermula. Psikolog Frank Ochberg yang tertarik dengan fenomena ini kemudian memberikan penjelasan pada FBI dan Scotland Yard di decade 1970-an.
Kok bisa seseorang mengalami yang namanya Stockholm syndrome? Bukankah pelaku penculikan atau penyanderaan memperlakukan korbannya secara kasar?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti akan muncul di benak siapapun. Ya, itulah yang menjadikan sindrom Stockholm sebagai suatu fenomena psikologis yang unik dan bagi sebagian orang mungkin terlihat tidak masuk akal.
Faktanya, kejadian ini benar adanya dan beberapa kali menggemparkan publik. Berkaca dari kasus-kasus yang terjadi, beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab kondisi ini di antaranya:
Faktor-faktor tersebut (bersama faktor lainnya yang belum disebutkan) yang akhirnya secara tidak sadar mengubah persepsi korban terhadap pelaku dari tadinya benci menjadi berempati atau bahkan, jatuh cinta!
Jika ditelisik lebih dalam, penyebab Sindrom Stockholm adalah naluri alami manusia untuk bertahan dari ancaman yang sedang ia hadapi. Pada konteks penculikan, penyanderaan, atau tindakan kekerasan lainnya, bersikap kontradiktif dengan apa yang sesungguhnya dirasakan adalah bentuk pertahanan diri tersebut.
Manakala korban sedang merasa takut, sedih, atau marah dan benci sekalipun, naluri akan menuntunnya untuk mengubah perasaan-perasaan tersebut menjadi sebaliknya. Selain (mungkin) bertujuan untuk mengelabui sang pelaku, cara ini menurut pendapat ahli merupakan ‘pelarian’ korban dari rasa takut, sedih, benci, dan perasaan traumatik lainnya.
Ditambah lagi dengan sisi ‘baik’ yang, uniknya, ditunjukkan oleh pelaku seperti mengajak berbincang atau memberi makan dan minum sebagaimana dijelaskan di atas.
Merujuk pada teori Ochberg, kondisi psikologis ini juga melewati tahapan yang dinamakan “infantilisasi”. Infantilisasi adalah kondisi ketika korban tidak bisa melakukan aktivitas tanpa adanya persetujuan dari pelaku. Proses ini lantas menciptakan ketergantungan dari korban terhadap pelaku.
Pada akhirnya, korban akan berada di situasi ketika semua hidup dan matinya ada di tangan pelaku sehingga ia tidak ingin “lepas” dari darinya.
Sebagai suatu kelainan mental, Sindrom Stockholm ditandai oleh sejumlah ciri atau gejala khas.
Beberapa contoh sikap yang bisa dikategorikan sebagai ciri-ciri sindrom ini adalah:
Sementara ketika berhasil lepas dari pelaku, korban tidak serta merta lepas dari sejumlah gejala berikut ini:
Korban penculikan maupun tindakan kekerasan lainnya yang terkena Sindrom Stockholm tentu harus mendapat terapi psikologis guna memulihkan kesehatan mentalnya.
Sindrom Stockholmadalah kelainan mental yang bisa disembuhkan.
Cara menyembuhkan masalah mental ini tentu saja dengan melakukan terapi mental dengan psikiater. Penanganan pengidap sindrom Stockholm bisa dibilang hampir serupa dengan penanganan penyakit Post-traumatic stress disorder (PTSD), yakni mulai dari pemberian obat-obatan antidepresan hingga melakukan sesi konseling—baik secara pribadi maupun kelompok—dengan psikiater.
Pemberian obat-obatan antidepresan bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala seperti rasa cemas hingga gangguan tidur (insomnia). Sementara konseling bertujuan untuk memulihkan kondisi mental korban pasca mengalami kejadian tak mengenakkan tersebut.
Pun, konseling diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan diri dan membuat korban tidak takut lagi untuk menjalin relasi sosial.
Fenomena Sindrom Stockholm bisa dibilang sangat jarang terjadi, namun sejumlah kasus penculikan dan penyanderaan yang berakibat pada munculnya sindrom ini cukup menggemparkan publik dunia.
Selain kasus perampokan bank di kota Stockholm, Swedia yang menjadi cikal bakal penamaan sindrom Stockholm, contoh kasus lainnya yang terkait dengan fenomen ini adalah sebagai berikut.
Kisah penculikan anak pemilik surat kabar The Californian Patty Hearst pada tahun 1974 adalah contoh kasus penculikan yang berujung pada Sindrom Stockholm.
Bagaimana tidak? Hearst yang diculik pada 4 Februari 1974 oleh suatu kelompok militan yang menamakan diri Symbionese Liberation Army (SLA) justru ikut bergabung bersama para penculiknya untuk melakukan sejumlah tindak kriminal, termasuk merampok sebuah bank di San Fransisco di mana ia terekam tengah beraksi sambil menggenggam senapan M1.
Patty berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara. Pengacaranya berusaha memberikan pembelaan dan mengatakan kalau gadis yang saat itu berumur 19 tahun mengalami sindrom Stockholm.
Kasus penculikan fenomenal lainnya yang berkaitan dengan Stockholm syndrome terjadi di tahun 1998.
Adalah Natascha Kampusch, seorang bocah yang diculik dan disekap selama 8 tahun lamanya (1998-2006) oleh seorang pria bernama Wolfgang Priklopil. Kendati pada akhirnya Kampusch berhasil melarikan diri, ia merasa sedih ketika tahu sang penculik tewas bunuh diri dengan cara menabrakkan diri ke kereta yang tengah melintas tak lama setelah ia tahu sang anak kabur.
Kisah Natascha Kampusch ini lantas diangkat ke layar lebar lewat sebuah film bertajuk 3096 days sesuai dengan jumlah hari ia tinggal bersama penculik.
Itu dia informasi mengenai Sindrom Stockholm yang perlu Anda ketahui. Semoga bermanfaat!