Sindrom geriatri adalah serangkaian kondisi klinis pada lansia yang dapat memengaruhi kualitas hidup dan dikaitkan dengan kecacatan. Simak penjelasan mengenai gejala hingga perawatan sindrom geriatri, selengkapnya di bawah ini.
Sindrom geriatri meliputi gangguan kognitif, depresi, inkontinensia urine, ketergantungan fungsional, dan risiko jatuh. Sindrom ini dapat menyebabkan angka morbiditas yang signifikan dan keadaan yang buruk pada usia tua yang lemah, karena kondisi ini memengaruhi beberapa sistem organ.
Lima sindrom geriatri yang utama adalah:
Pemeriksaan geriatri komprehensif mencakup kesehatan fisik, mental, status fungsional, kegiatan sosial, dan lingkungan. Tujuan asesmen ialah mengetahui kondisi kesehatan secara keseluruhan agar dapat memberdayakan kemandirian seseorang selama mungkin dan mencegah disabilitas-handicap dimasa depan.
Oleh karena itu, proses anamnesis adalah sesuatu yang penting. Anamnesis adalah kegiatan komunikasi yang dilakukan antara dokter sebagai pemeriksa dan pasien yang bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang penyakit yang diderita dan informasi lain yang berkaitan, sehingga dapat membantu menentukan diagnosis suatu penyakit.
Seseorang yang memiliki sindrom ini sering kali disertai penyakit kronis degeneratif. Hal ini membuatnya tumpah tindih dengan gejala yang sudah lama diderita, sehingga gejalanya menjadi tidak jelas.
Penyakit degeneratif yang banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular.
Oleh karena itu, dalam menilai kesehatan lansia perlu dibedakan antara perubahan akibat penuaan dengan perubahan akibat proses patologis. Beberapa penyakit pada lanjut usia yang sering dijumpai sindrom geriatri adalah:
Ini adalah keadaan di mana tubuh tidak bergerak selama beberapa hari dan diiringi gerak anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis.
Gangguan keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah tulang.
Keadaan ini didefinisikan sebagai keluarnya urine yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya.
Pada usia lanjut, keadaan ini kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali. Gejala depresi pada usia lanjut sering kali dianggap sebagai bagian dari proses menua.
Keadaan ini erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut. Infeksi yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain seperti kurang gizi, multipatologi dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi.
Kedua gangguan ini sering dianggap sebagai hal biasa terkait proses penuaan. Padahal, gangguan penglihatan dan pendengaran berhubungan dengan kualitas hidup, seperti meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh, fraktur panggul, dan mobilitas.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada penderita sindrom ini. Pada umumnya, penderita tidak bisa mempertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% lansia mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh tetap terjaga sepanjang malam, 19% mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19% mengalami kesulitan untuk tertidur.
Meski terapi non-farmakologi dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah sindrom ini, namun obat tetap menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi (penggunaan beberapa obat secara bersamaan) sangat sulit dihindari.
Secara garis besar keadaan ini dapat diatasi dengan:
1. Program rehabilitasi, seperti:
2. Katerisasi, baik secara berkala (intermitten) atau menetap (indweling).
3. Obat-obatan, antara lain untuk relaksasi kandung kemih seperti estrogen.
4. Pembedahan, misalnya untuk mengangkat penyebab sumbatan, keadaan patologik lain, atau pembuatan sfingter artefisiil.
5. Lain-lain, misalnya penyesuaian lingkungan yang mendukung untuk kemudahan berkemih, penggunaan pakaian dalam dan bahan-bahan penyerap khusus untuk mengurangi dampak inkontinensia urine.
Penatalaksanaan kondisi ini adalah dengan mengatasi atau mengeliminasi faktor risiko, penyebab jatuh dan menangani komplikasinya.
Penatalaksanaan harus terpadu dan membutuhkan kerja tim yang terdiri dari dokter (geriatri, neurologik, bedah ortopedi, rehabilitasi medik, psikiatrik dan lain-lain), sosio medik, serta keluarga penderita.
Perawatan ini bersifat individual, artinya berbeda untuk setiap kasus karena perbedaan faktor-faktor yang mengakibatkan seseorang terjatuh. Lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial, sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi dan perbaikan lingkungan.
Pada kasus lain, intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya pembatasan bepergian, penggunaan alat bantu gerak dan sebagainya,
Penggunaan benzodiazepin seharusnya dihindari, kecuali bila penyebabnya adalah reaksi putus alkohol atau ketika agitasi yang berat tidak dapat dikontrol oleh obat neuroleptik.
Hal ini disebabkan karena benzodiazepin dapat menyebabkan reaksi berkebalikan yang memperburuk delirium. Reaksi berkebalikan yang diakibatkan oleh obat ini adalah sedasi yang berlebihan yang dapat menyulitkan penilaian status kesadaran pasien itu sendiri
Pada beberapa penelitian penggunaan obat neuroleptik, obat yang sering dipakai pada kasus delirium adalah haloperidol. Haloperidol digunakan karena profil efek sampingnya yang lebih disukai dan dapat diberikan secara aman melalui jalur oral maupun parenteral.
Beberapa faktor penyebab terjadinya infeksi pada lanjut usia adalah perubahan sistem imun, perubahan fisik (penurunan refleks batuk, sirkulasi yang terganggu, dan perbaikan luka yang lama) serta beberapa penyakit kronik lainnya.
Infeksi yang paling sering terjadi pada lansia adalah infeksi paru, saluran kemih, dan kulit. Gejala infeksi pada usia ini biasanya tidak jelas.
Pemberian vaksinasi yang sesuai dan meningkatkan status nutrisi lansia penting dilakukan untuk sebagai tindakan pencegahan terhadap penyakit infeksi.