Sejak beberapa pekan terakhir, pemerintah Indonesia mulai mempertimbangkan wacana untuk berdamai dengan wabah Covid-19 dan secara bertahap akan memberlakukan tatanan hidup baru di masyarakat yang juga dikenal dengan konsep ‘new normal’. Bahkan, Presiden Joko Widodo sendiri yang menghimbau masyarakat untuk bisa menyesuaikan diri dan hidup berdampingan dengan virus corona.
Beberapa pemimpin daerah juga telah memutuskan untuk mencabut aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di daerahnya dan beralih ke fase transisi menuju kehidupan normal baru. Fasilitas-fasilitas publik, seperti perkantoran, transportasi umum, dan sekolah pun mulai dipersiapkan untuk dibuka kembali dengan menerapkan protokol kesehatan.
Dengan akan dibukanya kembali sekolah, muncul kekhawatiran di masyarakat, terutama di kalangan orang tua murid. Banyak orang tua khawatir kegiatan di sekolah akan membuat buah hati mereka terancam bahaya karena akan terpapar virus corona di sekolah. Memang kekhawatiran ini cukup wajar mengingat jumlah kasus Covid-19 di Indonesia masih belum menunjukkan tren penurunan.
Data menunjukkan bahwa Covid-19 dapat menginfeksi segala rentang usia. Namun, usia lanjut dan individu dengan penyakit kronik penyerta menjadi yang paling rentan. Sebaliknya, anak usia di bawah 18 tahun diketahui lebih jarang terinfeksi Covid-19 dan jika pun terinfeksi, gejalanya lebih ringan dibandingkan kelompok usia lain.
Data epidemiologi di Amerika Serikat (AS), Cina, dan Italia -negara-negara paling terdampak Covid-19- menunjukkan bahwa kurang dari 2% kasus Covid-19 terjadi pada anak-anak. Pada anak-anak, lebih dari 90% kasus bergejala ringan atau bahkan tidak bergejala dengan angka kematian cenderung kecil, yaitu hanya 0,01%, tidak jauh berbeda dengan flu musiman.
Gejala yang berat umumnya terjadi pada anak yang telah memiliki kondisi medis penyerta. Dilaporkan bahwa 83% pasien anak yang dirawat di unit rawat intensif anak (Pediatric Intensive Care Unit/PICU) di AS dan Kanada memiliki kondisi medis lain, seperti asma, gangguan genetik, kanker, penyakit jantung bawaan, dan kondisi lain yang menyebabkan penurunan daya tahan tubuh. Bahkan, hingga 3 Juni 2020 belum ada kematian anak yang dilaporkan di negara-negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Vietnam.
Gejala Covid-19 pada anak tidak berbeda jauh dibanding dengan orang dewasa, tapi memang pada umumnya gejala yang muncul lebih ringan dibanding orang dewasa. Gejala utama Covid-19 pada anak-anak antara lain:
Khusus orang tua, disarankan untuk memeriksakan anak ke dokter jika:
Selain itu, beberapa negara juga melaporkan sejumlah kecil kasus dengan gejala-gejala berat pada anak usia 2-15 tahun. Kondisi langka ini disebut dengan Multisystem Inflammatory Syndrome in Children (MIS-C), yaitu kumpulan gejala peradangan pada banyak sistem. Walaupun sangat langka, kondisi ini bisa berakibat fatal untuk anak karena peradangan dapat menghambat aliran darah dan merusak jantung, ginjal, dan organ lainnya.
Jangan tunda untuk memeriksakan anak ke dokter jika mengalami tanda-tanda berikut:
Dokter dan peneliti masih terus mempelajari kondisi baru yang sangat jarang terjadi ini. Oleh karena itu, masih diperlukan banyak penelitian pula terkait MIS-C. Jika khawatir dengan kondisi buah hati, disarankan langsung konsultasi ke dokter.
Di sisi lain, terjadi fenomena yang berbeda pada populasi anak di Indonesia dalam situasi pandemi ini.
Anak-anak Indonesia terlihat lebih rentan terhadap wabah Covid-19. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengkonfirmasi bahwa 5% pasien Covid-19 di Indonesia berusia di bawah 17 tahun, 2,5 kali lebih tinggi dari rata-rata persentase Covid-19 pada anak di seluruh dunia.
Hingga akhir Mei 2020, Kementerian Kesehatan melaporkan hampir 2.000 anak terinfeksi dan 29 (1,5%) di antaranya meninggal dunia akibat virus yang menyerang saluran pernapasan ini. Persentase ini berarti lebih dari 100 kali lipat rata-rata kematian secara global yang hanya 0,01%.
Selain itu, masih ada sekitar 5.000 anak berstatus Orang Dalam Pengawasan (ODP) dan Pasien Dalam Pengawasan (PDP) yang masih dalam penyelidikan. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan karena ada lebih dari 400 anak meninggal dengan status ODP dan PDP.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyebutkan lemahnya kesehatan anak Indonesia disebabkan oleh banyak faktor, seperti tingginya angka penyakit infeksi lain, stunting, malanutrisi, hingga rendahnya cakupan imunisasi anak Indonesia. Kurang masifnya pengetesan pada anak yang menyebabkan terlambatnya diagnosis juga menjadi salah satu faktor.
Banyak pasien anak datang ke dokter dengan gejala yang sudah berat sehingga penanganannya pun lebih sulit. Oleh karena itu, penerapan konsep ‘new normal’ di Indonesia perlu benar-benar diperhatikan.
IDAI merekomendasikan agar penyesuaian harus diawasi ketat, terutama pada fasilitas yang menjadi tempat berkumpul anak-anak, seperti sekolah, tempat penitipan anak, transportasi umum, dan taman bermain. Masyarakat juga diharapkan untuk selalu taat pada protokol kesehatan untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit.
Dalam mempersiapkan kehidupan normal baru, orang tua atau pengasuh berperan penting dalam mengajarkan dan mengajak anak agar selalu menerapkan gaya hidup sehat. Beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua dan pengasuh antara lain:
Informasi kesehatan ini disponsori: