Bayangkan jika Anda ternyata terkonfimasi COVID-19. Lalu, setelah 2 minggu karantina diri dan uji PCR berulang, Anda dinyatakan negatif, lalu dinyatakan sembuh dari COVID-19. Apakah selanjutnya akan selama-lamanya kebal dari COVID-19?
Hingga saat ini, sedikit yang diketahui tentang kekebalan tubuh setelah terinfeksi COVID-19. Hal ini sanggat lumrah karena penelitian tentang kekebalan tubuh paska suatu penyakit membutuhkan bertahun-tahun untuk diteliti. Saat penulisan artikel ini, COVID-19 baru beredar 9 bulan sejak pertama kali diidentifikasi di Wuhan, Cina.
Sebelum kita membahas tentang kekebalan tubuh terhadap COVID-19, kita harus mengetahui bagaimana sistem imun manusia bekerja terhadap suatu penyakit infeksi. Secara umum, fungsi sistem imun manusia terdiri dari dua yaitu fungsi bawaan (innate) dan adaptif.
Fungsi bawaan ini termasuk pengahalang fisik seperti kulit atau air mata, sel seperti fagosit yang berfungsi sebagai satpam untuk segala kuman atau benda asing yang masuk ke tubuh manusi dan beberapa respons kimiawi dan sel lainnya. Fungsi adaptif yang mempunyai peran penting terhadap kekebalan virus ini iterdiri dari 2 respons, yaitu imunitas berdasarkan sel dan imunitas berdasarkan antibodi.
Imunitas berdasarkan sel limfosit T menyerang langsung bakteri atau sel yang terkena virus dan memusnahkannya. Imunitas berdasarkan antibodi menyerang benda asing tersebut melalui antibodi yang dihasilkan oleh sel B Limfosit. Konsep ini penting untuk diketahui dalam membahas kekebalan tubuh terhadap COVID-19 1.
Pada tubuh yang sudah terpapar virus SARS-COV-2, virus ini akan masuk ke saluran nafas dan ruang-ruang kecil di dalam paru (alveoulus). Virus ini akan masuk ke sel pneumosit yang mengandung pintu masuk untuk virus ini.
Ketika virus ini masuk, maka respons imun bawaan akan menghasilkan senyawa-senyawa kimia (kemokin) dan mengundang sel (makrofag, sel dendrit) yang akan membunuh sel-sel yang terinfeksi virus SARS-COV-2. Lalu terjadi transisi dari sistem imun bawaan menjadi adaptif.
Sistem imun adaptif ini akan memberikan respons protektif berupa menghasilkan sel limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berfungsi untuk membunuh sel yang terinfeksi (lebih baik dari sistem bawaan) dan membantu limfosit B menghasilkan antibodi terhadap virus.
Jika sistem imun adaptif ini bekerja dengan baik maka seluruh virus bisa hilang dari tubuh dan manusia tersebut bisa kebal dengan paparan virus SARS-COV-2 selanjutnya. Kekebalan ini didapatkan karena sistem imun adaptif memiliki ‘ingatan’ terhadap virus itu dalam bentuk antibodi dan limfosit T 2.
Beberapa berita pada bulan Juli 2020 mengabarkan bahwa kekebalan terhadap COVID-19 dapat hilang dalam waktu beberapa bulan. Berita ini berdasarkan penelitian yang dilakukan di Inggris yang melaporkan bahwa antibodi terhadap COVID-19 menurun/menghilang setelah 90 hari 3.
Penelitian ini membuat heboh masyarakat dengan memberikan kesan bahwa kita hanya akan kebal untuk sebentar saja lalu akan rentan untuk terinfeksi COVID-19 lagi. Berikut beberapa hal yang membuat reinfeksi lebih tidak mungkin untuk terjadi:
Apakah penelitian ini hanya membuat takut masyarakat saja? Penelitian ini di lain sisi memberikan gambaran yang baik bahwa antibodi seseorang yang terkena COVID-19 dengan gejala ringan dapat menurun signifikan dalam 3 bulan setelahnya.
Berikut beberapa implikasi dari penelitian ini:
Infeksi COVID-19 berulang (reinfeksi) hingga saat ini belum terbukti bisa terjadi. Untuk terjadi reinfeksi harus dipastikan bahwa virus yang menginfeksi pertama kali dan infeksi yang ke dua benar-benar berbeda secara molekular. Beberapa laporan kasus menunjukan bahwa setelah dinyatakan negatif secara PCR, RNA virus SARS-COV-2 terdeteksi positif lagi setelah 20 hari dari hasil negatif tersebut.
Pada laporan berbeda juga melaporkan hal serupa dan pada pemeriksaan radiologi ditemukan radang paru-paru yang sudah membaik atau stabil. Hingga laporan tersebut dibuat juga belum adanya bukti penularan SARS-COV-2 kepada orang lain setelah orang tersebut sembuh6.
Infeksi COVID-19 yang berat tidak disebabkan oleh virus SARS-COV-2 secara langsung namun terjadinya kegagalan tubuh mengatur respons sistem imun sehingga terjadinya peradangan hebat di tubuh dan menyebabkan kerusakan di tubuh. Peradangan hebat ini yang dinamakan badai sitokin (cytokine storm) menyebabkan kerusakan paru akut dan akhirnya beberapa organ vital lainnya 2.
Beberapa kelompok orang memiliki kecenderungan disregulasi sistem imun ini. Penelitian yang dilakukan di Itali dan Spanyol menunjukan bahkan orang yang mengalami kegagalan nafas pada infeksi COVID-19 lebih memungkinkan memiliki varian gen tertentu dibandingkan orang yang tidak mengalami gagal nafas karena COVID-19.
Varian gen ini terletak pada genom yang menentukan tipe darah ABO, lainnya pada protein yang berinteraksi dengan pintu masuk virus ke dalam sel tubuh dan lainnya terkait molekul di sistem imun manusia 7. Penelitian lain yang lebih kecil meneliti dua bersaudara yang sebelumnya sehat dan mengalami infeksi COVID-19 yang berat, pada penelitian ini dapatkan adanya variasi gen X yang menyebabkan defek pada respons interferon I dan III (bagian dari sistem imun bawaan) 8.
Sistem imun manusia merupakan sistem yang sangat kompleks. Respons tubuh terhadap infeksi COVID-19 juga sangat rumit dan masih banyak yang belum diketahui.
Sembilan bulan setelah pandemi ini dimulai, beberapa penelitian menunjukkan hasil yang memberikan gambaran terhadap infeksi COVID-19. Namun, masih banyak hal yang masih belum diketahui. Sebelum adanya vaksin yang bisa memberikan kekebalan dan obat COVID-19 yang bisa secara efektif menghentikan infeksi, maka pencegahan harus selalu diutamakan dengan cara disiplin terhadap protokol kesehatan.
Informasi kesehatan ini disponsori:
e